About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Tuesday 23 June 2009

Posisi Perempuan dalam hukum keluarga adat bali (Pendekatan Hukum berperspektif Perempuan-Feminist Yurisprudence)

  1. Pendahuluan

Hukum adat bali, hasil transformasi kebudayaan dan agama yang menjelma dalam tatanan kehidupan masyarakat bali. Sampai saat ini, eksistensinya masih terjaga dan dilaksanakan oleh masyarakat Bali, bahkan mampu menggeser keberadaan hukum nasional yang dibuat oleh negara. Salah satu aspek dalam hukum adalah hubungan keperdataan yang merupakan tatanan kehidupan antar orang-perorangan. Dalam ranah ini, salah satu bagiannya adalah hukum keluarga dengan ruang lingkup seperti yang disebutkan oleh Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, yaitu meliputi :

a. Perkawinan,

b. Keturunan,

c. Kekuasaan orang tua,
d. Perwalian,

e. Pendewasaan,

f. Curatale, dan

g. Orang yang hilang

Dalam makalah ini akan membahas kedudukan perempuan dalam hukum keluarga adat bali. Bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat yang menganut sistem patrilinial. Selama ini, perempuan diposisikan sedemikian rupa oleh struktur masyarakat seakan-akan kedudukannya subordinat terhadap laki-laki. Hal inilah yang kemudian menjadikan peranan perempuan terbatas hanya di ranah domestik karena dianggap lemah dan tidak mampu beraktualisasi di ranah publik. Dengan demikian melanggengkan budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi lemah tersebut. Kedudukan perempuan nampak paling nyata adalah dalam keluarga, terutama di masyarakat adat yang masih memegang teguh adat mereka. Jikalau ada semacam rekonstruksi terhadap tatanan adat yang sudah dibangun sedemikian rupa oleh nenek moyang mereka, maka hal ini dianggap tabu.

Lebih rendahnya hak dan kedudukan adat seorang perempuan dalam keluarga karena hukum adat yang masih bersifat feodal, yang masih membedakan keturunan dan martabat manusia seperti dalam struktur sosial masyarakat bali berupa kasta-kasta brahmana, ksatria, waisya dan sudra. Apalagi dengan sistem patrilinial yang menempatkan posisi laki-laki sebagi ujung tombak dari masyarakat dan penerus wangsa, maka arogansi laki-laki terhadap perempuan tersebut dapat ditemui dalam praktek perkawinan poligami sehingga masih dikenal istilah “istri ratu” dan “istri selir”.


  1. Lemahnya posisi perempuan dalam hukum keluarga adat bali

Struktur masyarakat Bali dipengaruhi oleh sistem Klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa). Sehingga dalam melakukan perkawinan harus antar klen atau yang sederajat dengan wangsa. Hukum adat Bali tumbuh dan hidup dalam tatanan masyarakat agraris, demikian juga lembaga-lembaga adat seperti desa adat sangat tergantung pada tanah (wilayah kerjanya) dan peran-peran individu sesuai dengan kondisi pada saat itu. Dari sisi kekuasaan dalam masyarakat yang mendominasi adalah para tuan tanah (feodalisme). Sampai masa tahun 60’an sangat dirasakan ketidakadilan gender, terutama pemaksaan kehendak terhadap perempuan sangat tinggi, seperti : praktek kawin paksa, poligami, pemingitan gadis dalam usia belia dengan alasan menjaga kesuciannya, kawin dalam usia muda, dan adanya strata sosial kasta yang melarang perempuan kawin dengan orang lain, hanya dalam lapisan kastanya saja, bila keluar maka ia dibuang dari keluarga, banyak terjadinya kekerasan fisik dan mental terhadap perempuan.1

Sistem kekerabatan yang menggunakan sistem patrilinial-mengikuti garis ayah- mengharuskan perempuan yang menikah meleburkan wangsanya terhadap suaminya. Peranan istri dalam perkawinan pun hanya dibatasi dalam ranah domestik untuk mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anak. Selain itu, peranan istri sebagai pembantu suami dalam menegakkan rumah tangga, dalam memepertahankan kedudukan suami, meneruskan keturunannya serta memelihara hubungan kekerabatan antara pihak suami dan pihak istri.

Dalam ranah hukum waris, terdapat pembedaan ahli waris sebagai berikut :

Pratisentana purusa (anak laki-laki);

Sentana Rajeg ( anak perempuan yang berstatus sebagai anak lelaki);

Sentana peperasan (anak angkat).

Dalam hukum waris inilah yang sering digugat sebagai aturan yang bias Gender dengan menggunakan sistim kewarisan menurut garis “purusa”yang sepenuhnya tidak identik dengan dengan garis lurus laki-laki, karena perempuanpun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga. Tapi bila keluarga

itu memiliki anak perempuan dan laki-laki hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli

waris. Hal inilah yang menjadikan hukum waris adat bali itu bias gender . Sangat jelas sekali anak perempuan apalagi sudah kawin keluar, maka ia tidak berhak

mewaris dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga pihak suami selama

perkawinannya langgeng. 2


Kemudian bila terjadi perceraian dalam sebuah perkawinan, perempuan kembali ke keluarga dan menjadi tanggung jawab orangtua atau saudara laki-lakinya. Disinilah terlihat perempuan begitu dilemahkan dan harus sealalu bergantung pada laki-lak. Secara ekonomis tidak mendapat bagian dalam waris sehingga tidak mendapat hak untuk mengasuh anak karena dianggap tidak mampu menghidupi anak-anaknya. Menurut hukum adat Bali mengenai harta perkawinan, harta bersama ( guna kaya = harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah dibagi dua (50% hak perempuan) dan bila ada harta tatadan ( bekal atau hibah dari orangtua perempuan), harta tatadan sepenuhnya kembali menjadi hak perempuan. Namun Prakteknya, dalam kasus perceraian banyak diselesaikan hanya secara adat, dan perempuan bali sering tidak menggugat harta bersama apalagi bila ada anak-anak, biasanya diberikan kepada anak-anaknya. Syukur bila keluarga asalnya menerima dengan baik. Dari pengamatan perempuan yang bercerai dan pulang ke rumah selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dan

juga sering membantu biaya sekolah anak-anaknya bila memungkinkan.

  1. Feminist Yurisprudence-Hukum berperspektif perempuan-sebagai upaya rekonstruksi hukum keluarga adat bali agar pro perempuan

Perdebatan tentang Feminist memeng selalu eksis dan berkembang dari masa-ke masa. Upaya–upaya untuk mengikis budaya patriarki bukan hanya mencari pengakuan kesamaan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam ranah publik, tapi lebih dari itu dalam ranah hukum yang menjadi legitimasi bagi kehidupan kemasyarakatan. Seiring dengan munculnya gerakan feminis marxis, feminis liberal, feminis radikal, feminis post-strukturalis maka para ahli hukum feminis mulai tertarik untuk mendiskursuskan metode hukum yang bersifat netral dan berperspektif perempuan.

Feminis Yurisprudence-Hukum berperspektif perempuan- merupakan kritik terhadap hukum patriarki. Oleh karena itu, feminist Yurisprudence mempertimbangkan fakta perempuan dalam memendang permasalahan hukum. Pandangan ini tak serta merta menghilangkan objektivitas dari hukum tersebut, hanya saja mencoba mensinergiskan hukum dengan kebutuhan dan fakta/ pengalaman perempuan. Hal ini dapat dijadikan solusi terhadap hukum yang selam ini tidak responsif terhadap isu gender. Sehingga hak-hak perempuan yang dilemahkan secara hukum dapat terakomodir.

Jika dikaitkan dengan hukum keluarga adat bali yang nota bene bersifat patriarkal, ternyata dapat direkonstruksikan melalui sumber hukum materiil dari hukum adat tersebut, yaitu ajaran agama hindu. Bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan dalam agam hindu yang manjadi sumber bagi berlangsungnya tatanan kehidupan masyarakat bali.

Tentang kedudukan perempuan, seperti digambarkan dalam Kitab Suci Manawa Dharmacastra Bab.III. sloka 58 dan 59.

58: “ Bagi setiap keluarga yang tidak menghormati kaum perempuan, niscaya keluarga

itu akan hancur lebur berantakan. Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengungkapkan kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib”

59. “ Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghormati perempuan kitab suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”.


Manu Smerti menggambarkan status perempuan dan laki-laki adalah sama (Manawa Darmacastra IX, 96):

Untuk menjadi ibu perempuan diciptakan, dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan, karena itu upacara keagamaan ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan oleh suami dan istrinya.

96.”Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” Manu Smerti mengumpamakan perempuan diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah da laki-laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam menciptakan kehidupan. Gambaran tentang peran perempuan sebagai tolak ukur kebahagiaan dalam keluarga, masyarakat dan bangsa dapat dilihat dalam Kitab Bhagawadgita Bab I sloka 41,42 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:

Bila tirai kebatilan merajalela oh Kresna , wanita menjadi jalang, maka moral serta warna (dalam masyarakat) akan campur aduk”

Keruntuhan moral perempuan akan membawa keruntuhan keluarga serta arwah nenek moyang akan jatuh keneraka, dan segala sesajen air, makanan yang dipersembahkan tidak berguna baginya”.

Tanggung jawab perempuan menjadi sangat tinggi dalam memegang teguh moral dan

ahklak masyarakat. Perempuan memegang peranan sentral dalam kehidupan dan kebahagiaan keluarga, masyarakat dan negara. 3

  1. Penutup

Hukum keluarga adat balai masih bias gemder, hal ini terlihat dalam subordinasi hak perempuan terhadap laki-laki dalam ranah waris maupun perceraian. Perempuan sebagai pihak yang dirugikan dalam struktur sosial masyarakat patriarkal, perlu untuk merekonstruksikan peranan dan hak-haknya. Konsep hukum berperspektif perempuan adalah penting dengan mempertimbangkan fakta yang terjadi pada perempuan agar hukum yang ada pro terhadap perempuan. Rekonstruksi ini perlu mengingat ajaran agama yang menjadi tititk penting bagi eksistensi hukum adat di masyarakat, telah melegitimasi kedudukan perempuan sedemikian rupa sehingga sejajar dengan laki-laki. Namun dalam tataran implementasi masih memerlukan pendekatan hukum yang berperspektif perempuan-Feminist Yurisprudence- agar hukum bisa responsif terhadap permasalahan perempuan.


Sumber Literatur :

  • Ihromi, Tapi Omas,dkk, 2000, Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan,Bandung : Penerbit alumni

  • Hadikusuma, Hilman, Prof., 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Jakarta : Sinar Agung

  • Soekanto, Soerjono,1981, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Grafindo

  • Rekonstruksi Pemikiran terhadap pekerja Perempuan (kajian Sosio-Kultural dan Feminist Jurisprudence terhadap pekerja perempuan), ditulis oleh Hikmatul Ula (Alumni LPM-MANIFEST angkatan 2003)


1 www.ejournal.unud.ac.id diakses pada tanggal 5 Maret 2009

2 Ariani, I Gusti Ayu Agung, 2004. Bias Jender Dalam Hukum Perkawinan ( UU No, 1 Tahun 1974)

Tinjauan Dialektik: Peter.L. Berger. Dalam Krta patrika Vol.29 No.1 Januari Tahun 2004. Fakultas

Hukum Unud Denpasar,

3 Whedariyadnya.2000. Wanita Moral dan Pembangunan: Pandangan dari sudut ajaran Agama Hindu.

Dalam Buletin Kembang Rampai Wanita Bali, Pusat Studi Wanita Unud, h.99-102


Saturday 20 June 2009

Perempuan Indonesia Antara Legitimasi Hukum dan Struktur Patriarki


Perdebatan mengenai persoalan “Gender” tak kunjung usai. Ruang diskursus terhadap permasalahan-permasalahan sosio-kultural maupun agama selalu terbuka dalam mempertanyakan eksistensi gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender sebagai refleksi dari perkembangan HAM di dunia.

Di Indonesia sendiri, R.A Kartini sedemikian tersohor sebagai tokoh yang memeperjuangkan “Emansipasi Wanita ditengah budaya patriarki yang sedemikian mengakar kuat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Emansipasi ternyata dimaknai tidak hanya sekedar “Gerakan perempuan”, namun lebih dari itu, emansipasi merujuk pada nilai-nilai HAM yang menggema dengan lantang pasca tumbangnya rezim orde baru. Nilai-nilai HAM yang merefleksikan kesamaan hak serta kesempatan yang sama pada diri setiap manusia-termasuk perempuan-membawa paradigma baru dalam perkembangan gerakan perempuan Indonesia.

Legitimasi hukum dalam mengakulturasikan persoalan gender tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender. Tahap sebelumnya Indonesia telah menapaki sebuah reformasi persoalan gender dengan meratifikasi Convention On The Elimination Of Discrimination Againts Woman melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam hal ini semakin memperkuat legitimasi isu persoalan perempuan yang tersubordinat kedudukannya sehingga pergerakan perempuan untuk mencapai kesetaraan dilakukan lebih massive.

Namun ternyata, persoalan gender tak hanya selesai ketika tataran legitimasi hukum telah dicapai. Menurut teori “efektifitas hukum” dari Lawrence Friedman, berlakunya hukum positif bergantung pada “strucrure”, “culture” dan “substansi”. “Structure” memang menjadi sulit ketika persoalan bias gender dihadapkan dengan legitimasi hukum. Sehingga hukum pun mempunyai kendala untuk diimplementasikan karena struktur sosial patriarki yang mengakar kuat tersebut.

Fenomena kekerasan terhadap perempuan masih seringkali terjadi, entah dalam bentuk fisik maupun psikis. Walaupun sudah ada Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, masih saja banyak perempuan yang tersiksa di lingkungan rumah tangga. Manohara, Cici Paramida dan banyak perempuan lain menjerit dibawah struktur yang melemahkan mereka. Menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan rentan ditindas.

Dalam ranah publik pun, persoalan pelik menghinggapi perempuan yang terjun ke dunia yang dikonstruksikan sebagai domain laki-laki dalam beraktualisasi (perempuan di ranah domestik saja.red). Ketika berhadapan dengan dunia publik, maskulinitas laki-laki menyingkirkan sisi feminitas perempuan sehingga apapun berperspektif laki-laki. Hal ini tak ayal membuat perempuan jengah juga berada pada kondisi yang terkesan dipaksakan tersebut. Contohnya dalam dunia politik yang baru-baru ini ramai menjadi ajang perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan adanya kuota 30% yang diperuntukkan bagi perempuan, mendorong para perempuan untuk berani meramaikan kancah perpolitikan yang didominasi laki-laki. Sekali lagi perempuan mendapat tantangan karena pandangan-pandangan subjekif terhadap mereka yang terjun ke kancah politik hanya bermodal paras, bukan kapabilitas.

Inilah realita dinamika prempuan Indonesia yang memang patut diperhatkan, khususnya oleh kaum perempuan sendiri. Mengingat banyak kasus yang mendiskreditkan perempuan, tentu saja perlu adanya upaya dari para perempuan sendiri untuk mengubah struktur dan stereotype yang merugikan mereka. Hal ini tidak kemudian mendiskreditkan posisi laki-laki yang selama ini “diatas angin”. Kekhawatiran yang timbul adalah jika konstruk sosial yang selama ini terbangun lalu runtuh akan mendiskreditkan keberadaan kaum laki-laki. Tentu saja tidak, justru ketika kesetaraan kedudukan serta kesamaan kesempatan dan hak itu tercapai, akan tercipta sinergitas relasi antara laki-laki dan perempuan yang kondusif bagi pembangunan bangsa.