About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Tuesday 30 August 2011

Bersama Kawan Bayi Sehat, Mendekap Hangat Kebersamaan

Malam, dingin mencekam kebersamaan kami. Ditemani beberapa cangkir kopi yang menjadi saksi menguapnya kreatifitas dalam otak yang coba dimanifestasikan dalam obrolan, kami terlena seiring dengan mengepulnya asap rokok. Sementara itu, siaran TV yang ikut menemani kebersamaan ini, menjual berbagai kisah tentang romantisme kehidupan dalam sinetron-sinetron yang dibintangi para artis ‘sabun mandi’. Ah… jemu sekali melihatnya. Dunia sudah dibodohi oleh kisah-kisah cinta yang selalu melenakan para ‘penyair salon’ dengan sajak-sajak cengengnya. Di sisi lain, kondisi sosial Negara ini tak kian membaik pasca Reformasi yang menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Nyatanya hanya reformasi struktural birokrasi saja. Bosan dan jemu melihat permainan elit kuasa negeri ini.

“Kapan kita aksi lagi, kawan?”. Dia mengajukan pertanyaan itu berkali-kali. Namun hanya helaan nafas berat yang mampu menjawabnya. Entah kenapa, apakah kami memang sudah lelah atau jengah menghadapi berbagai permasalahan pelik ini. Krisis kultural menyerang kebersamaan kami, beberapa kawan kami mulai berguguran diantara idealisme yang utopis bahkan pragmatisme pribadi yang egois. Dia mulai gelisah menanti jawaban lisan dari mulut kami. Mata dibalik kacamata berbingkai hitam itu memandang kami per satu persatu. Sepertinya, semangat seorang mahasiswa menderu di jiwanya. Mungkin saja ia terinspirasi semangat Soe Hoek Gie, kawan lama yang diabadikan kisahnya dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” oleh kakaknya sendiri, Arief Budiman. Bahkan kisah hidupnya diapresiasi oleh Riri Riza dalam film “Gie”.
“Sudahlah kawan, kita anggap selesai saja masalah internal kita” lanjutnya.
“Aku sebenernya gag masalah sih kita membuat event untuk mengambil langkah terkait permasalahan sosial disekitar kita. Namun akan kesulitan sekali ketika lini pergerakan kita hanya disokong beberapa personal. Kita harus bersatu lagi untuk melakukannya” ucap seorang pemuda berdarah Pakistan-belanda. Mata ‘cekung dibingkai kacamata minus’-nya tertunduk. Lalu menerawang sambil mengepulkan asap dari corong mulutnya, menyesap rokok yang tinggal sebatang dalam-dalam, merasakan nikotin masuk menyusuri paru-parunya.

Semuanya terdiam lagi, kami merasakan kehampaan berfikir setelah berjam-jam menggelakkan tawa bersama sambil bercanda dalam diskusi. Sebuah ritual yang dikultuskan ketika kami berkumpul bersama. Mempertanyakan apapun mengenai fenomena kehidupan. Sekali lagi, pemuda ‘berkacamata bingkai hitam’ itu memandangi kami. Hal yang sama dilakukan ‘pemuda berdarah Pakistan-belanda’ itu.
Masih bungkam dalam keheningan yang menyelimuti. Satu persatu dari Kami termangu dalam pikiran masing-masing. Aku pun tak bersuara, sudah jengah rasanya menghadapi masalah serupa. Kenapa tidak pernah selesai, walaupun sudah dilakukan berbagai pendekatan kultural dalam ritme persaudaraan yang kami jalin. Dan sekarang ketika kondisi internal dari Kami mulai terpreteli, seperti Puzzle-puzzle yang terpisah dari kotaknya, tidak termanifestasikan secara utuh, Kami mulai kalut. Mencari bagian puzzle-puzzle yang tercecer itu, mengumpulkan dan merekonstruksi kembali wajah di papan puzzle. Entah jadi seperti apa, yang pasti Kami menyatu. Membentuk sinergitas antara profesionlisme organisasi dan pragmatisme Pribadi, bahasa yang kemudian faimilier adalah “perdebatan antara independensi etis dan independensi organisatoris”, kata para tetua.

“Sudahlah kawan, ayo kita kembali mengumpulkan komitmen kita. Apa guna punya banyak ilmu, kalau hanya untuk mengibuli, apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu (mengutip syair lagu dari Widji Thukul). Kita telah berenang di permukaan pergerakan, kepalang basah tahu dan tak mau melakukan sesuatu bukankah memalukan? Apa yang kita dapati selama 1,5 tahun berproses agaknya cukup untuk memahami kenapa kita harus ‘do something’. Kita sudah bukan bayi lagi yang merengek pada tetek yang tua, meminta asupan perhatian dan semangat. Sudah saatnya memompa dan menularkan semangat itu pada adik-adik kita” ucapku. Kulihat wajah kawan-kawanku, mereka menatapku seakan mengiyakan ucapanku.
Lalu malam merangkak pelan, kebersamaan Kami di rumah pemuda ‘pakistan-belanda’, akan segera diakhiri dengan tidur lelap. Ahh… tapi mata ini tak mengantuk. Masih ingin rasanya mengeja kebersamaan ini. “Ngopi yuk di Payung” celetuk salah seorang kawan. Tawarannya mendapatkan anggukan setuju dari kami semua. Dan kami mendekap kebersamaan itu lagi dalam gelak tawa, diselimuti dingin dan angin subuh kota batu.

*****

Duabelas kawan dengan kepala yang berbeda, dengan ego pribadi yang meninggi, dengan orientasi hidup yang berseberangan, bukan hal yang mudah untuk disatukan. Di saat semangat muda menggejolak, kami bermain dan berenang di lautan idealisme yang disuguhkan lewat nilai juang organisasi. Inilah kami, para pesohor organisasi diangkatan ‘bayi sehat’, dengan masing-masing karakter yang kami miliki.

Satu kawanku, Pemuda ‘berkacamata-bingkai hitam’ dengan emosinya yang mudah meluap, sikapnya seringkali menggundahkan hati kami. Pemicu konflik sekaligus pecut pemersatu, komitmen dan semangatnya menginspirasi kami semua. Dia ada dalam kemarahan kami, dia hadir dalam gelak-tawa dan kekonyolan. Yang satu ini, Pemuda ‘Pakistan-belanda’ dengan analisa sosial dan wacana ideologisasi yang kuat, seringkali menyuguhkan perdebatan wacana dalam kebersamaan yang mengantarkan kami pada diskusi panjang. Dia motor bagi kami, dia kebanggaan kami.

Pemuda unik berwajah nyentrik, seringkali ia menjadi bahan ejekan, entah kenapa tak pernah marah, atau mungkin ia menyimpan dendam dihatinya? Tak tahulah. Hanya saja ia kawan yang sabar (atau goblok?), meladeni keras kepala kedua kawanku yang kusebutkan diatas. Hahaha… bagaimanapun dia menyimpan pemikiran yang matang mengenai wacana filsafat. Lain halnya dengan si ‘gendut berkulitas’ yang satu ini, gaya bicara dan kemampuan diplomasinya mengungguli kami. Arogansinya tinggi, tapi masalah asmara sepertinya dia takluk dan merunduk. Tak seperti kawanku pemuda ‘pakistan-belanda’ dengan jargon ‘makan Tu Cinta’, si ‘Gendut Brekualitas’ sempat terjatuh pada hal serupa. Sempat meruntuhkan semangat yang ia miliki perkara terjebak di ‘belitan asmara’. Hahaha. Sayang sekali bukan??.

Beralih pada pemuda ‘punk inkulusif’ yang satu ini, dia kawanaku dengan bakat ‘nggenjreng’ dan pengalaman hidup yang tak pernah terbayangkan olehku. Merantau dijalanan tanpa bekal uang, tanpa tahu arah tujuan. Hanya tekad dan kegilaan bersama kelompoknya yang nyentrik, komunitas Punk Malang, kalau boleh ku katakan begitu. Dan dalam kejumudan karakter keras kawan-kawanku yang lain, ia sosok yang melunak. Sementara itu, ketika kami dituntut untuk berfikir lebih soal kedewasaan yang menjadi keniscayaan dalam usia yang sudah tak remaja lagi, gadis ‘melankolis-sempurna’ ini hadir dengan rengekan dan tangisannya. Menjadi warna tersendiri dalam kebersamaan kami, menuntut berfikir ulang agar ia dapat mengerti mengenai sikap ‘yang sok dewasa’ dari kami semua. Bagaimanapun, ia menyayangi kami dengan persahabatan dan loyalitas. Sosok kekanakannya terakadang sirna karena komitmen yang ia miliki menggelitik kami. Satu lagi sosok childish di antara kami, gadis ‘berambut keriting’ dengan pemikirannya yang sulit dipahami. Bahkan oleh orang terdekatnya sekalipun. Unprecdictable girl. Ikatan persaudaraan lah yang semoga masih ia genggam, terlepas dari pilihannya yang tidak menjadikan ‘komitmen kami’ di pergerakan ini sebagai orientasi. Kami paham dan mengerti tentang pilihan itu.

Kawanku yang ini sebut saja gadis ‘Humoris yang plin-plan’, determinasi dirinya sebagai perempuan dipertanyakan ketika menghadapi masalah pribadi, ia mudah jatuh. Walaupun semangatnya timbul-tenggelam, namun komitmen itu ia perlihatkan lewat ketulusan dan kepedulian terhadap kami semua. Beberapa kali ia menghilang, beberapa kali itu pula ia kembali dengan ceria dalam pelukaan hangat kami. Serupa halnya dengan kekasih hatinya, pemuda ‘berkacamata yang bersahaja’. Sosoknya memang tak terlalu mencolok diantara Kami, namun sejumput komitmen itu ia jaga ditengah kesibukan ‘double degree’ yang ia jalani. Salut pada kawanku yang satu ini, dia yang melengkapi karakter dan kebersamaan ini.

Beralih lagi pada sosok lain, gadis ‘jilbaber-modis’. Dia yang paling terakhir mengawal kebersamaan ini pada saat pergerakan kami turun ke masyarakat, mengakutalisasikan keprihatinan terhadap kondisi pendidikan dengan bergerak di ‘Sekolah Rakjat’. Semangatnya menggebu saat itu, komitmennya menyala. Aksi pertama dijalani dengan kebanggaan menjadi ‘pembela rakyat’ saat 2 mei kemarin. Hanya saja, lagi-lagi asmara membelitnya. Entahlah.. apakah ia akan kembali pada kami dengan semangat menggebu dan komitmen menyala itu?. Semoga saja. Satu lagi, gadis ‘gimbrut-luchu’, kehadirannya sempat hilang di paruh kedua tahun pertama kami. Tapi dia kembali lagi merengkuh kebersamaan dengan kami, lagi-lagi pelukan hangat menyambut pulangnya kawanku yang satu ini. Sungguh, rindu sekali kami padamu, kawanku.

Dan ini yang terakhir, dia pemuda ‘pintar dan cemerlang’, prestasi akademiknya patut mendapat acungan jempol. Ketimbang kawan-kawanku yang lain, ia yang paling keukeuh merebut mahkota ‘juara’ dalam hal akademik. Hanya saja, kehadirannya belum mengukir rasa kebersamaan. Eksklusivitas dirinya terkadang membuat kami enggan untuk menjajaki kebersamaan ini. Masih kulihat komitmen itu, masih ada dan semoga terjaga.

Dan aku sendiri, menuliskan kisah ini ditemani secangkir kopi moka. Sekelebat wajah-wajah itu menggugah ingatan dan kenangan. Menanti kembali kebersamaan dengan celotehan riang di ‘warung CL, guyonaan di ‘warung Pak Wit’, perdebatan di kamar ‘komisariat’, pertengkaran di ‘ruang Rusyan Fikr’. Mengeja setiap kenangan yang akan dibingkai dalam otak, didekap dalam hati. Bukan bermaksud beromantisme semu, hanya saja menorehkan kenangan itu dalam tulisan yang semoga dapat menjadi refleksi bagi kami. Wassalam.
Malang, 23 Januari 2010
Dedicated to Firass, Wilmar, Nico, Iera, Ndaroe, Rahma, Inunk, Gimbrut, Menik, Dito, Rimba dan Tole.
Semangat selalu buat kalian!!!