About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Wednesday 7 September 2011

#Tribute To Munir, 7 September 2011 Catatan kecil dari Batu

Dari sini lah awalnya, pikirku. Ya dimulai dari Batu, Kota kecil yang bersahaja ini sosok itu tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sedemikian dikagumi banyak orang lantaran keberaniannya melawan ketidakadilan dengan lantang. Seperti apa yang ia selalu sampaikan bahwa ‘ketakutan akan mematikan kecerdasan dan akal sehat kita’, Munir menumbuhkan keberanian bagi semua orang untuk membuat negeri ini beradab.
Hari ini, tepat tujuh tahun kematiannya pada tanggal 7 september 2004 silam, segelintir mahasiswa dan beberapa sahabat terdekat serta keluarga memperingati ‘Hari Munir’ dengan cara tersendiri. Pagi tadi, tentulah semangat berkobar di depan istana. Orasi-orasi penuh semangat berkoar memenuhi langit Jakarta. Namun tidak di sini, di Kota batu, kami memperingati nya dengan sederhana.

Dimulai dengan orasi di depan alun-alun kota Batu, para massa aksi berbicara dengan lantang mengajak masyarakat tidak melupakan ‘anak daerah’ yang bernama Munir ini. Sungguh sangat miris ketika di kancah nasional hingga internasional namanya dijadikan parameter ketika berbicara tentang Hak Asasi Manusia yang selalu ia perjuangkan, namun di kampungnya sendiri dia mulai terlupakan. Tidak!, tentu saja kami tidak mau dia dilupakan begitu saja!. Maka mulailah kami melakukan longmarch dari alun-alun kota menuju makam Alm.Munir yang terletak di desa Sisir, sekitar 1 Kilometer dari arah alun-alun. Jumlah kami memang tidak banyak, hanya beberapa puluh orang mahasiswa, Suciwati sang istri dan Alif (anak pertama cak Munir), sahabat dekatnya Mbak Asfinawati, Mbak Yely, Pak Ali syafa’at dan beberapa orang wartawan yang meliput. Namun suara kami dapat menjadi penanda bahwa Kota Batu masih mengingat Munir. Ya, kami masih mengingatmu, Cak.
Sesampai di pemakaman Munir, kami melakukan doa bersama ala islam yang dipimpin oleh salah satu perwakilan mahasiswa (Angga). Lalu doa selanjutnya secara Kristen dipimpin oleh Mbak Yeli selaku perwakilan gereja. Keharuan menusuk hati kami saat doa dipanjatkan, entah kenapa rasa haru kami menyatu dengan sangat harmonis dalam perbedaan agama. Sekali lagi, bahkan saat dia sudah meninggal pun, semangat ‘toleransi’ nya bisa kami rasakan dengan khidmat. Hingga beberapa tetes airmata pun jatuh di pipi kami, mengenang sosok yang sedemikian kami cintai. Sakit betul hati kami mengingat keadilan untuknya belum tercapai dalam kurun waktu 7 tahun ini, waktu yang panjang bagi kami untuk menanti. Karena makna keadilan untuknya, juga keadilan bagi kami, bagi buruh, bagi petani, bagi rakyat miskin, bagi korban pelanggaran HAM, bagi semua manusia yang ia bela. Kami sangat malu, selama 7 tahun pula kami belum berhasil membela-nya. Kami belum mampu meruntuhkan sistem yang sedemikan bobroknya hingga sosok pembela sepertinya harus mengorbankan diri nya bagi kemajuan peradaban bangsa ini.
“Tenang saja Cak, Kami tidak akan lelah membelamu”
Seusai berdoa di makam alm.Munir, massa aksi menuju rumah keluarga Alm.Munir dan mbak suci di Desa sidomulyo. Udara kota batu yang sejuk mengiringi perjalanan, sembari dalam hati aku mengutuk oang-orang yang ‘duduk’ di istana pemerintahan tanpa berani melakukan sesuatu untuk menuntaskan kasus ini. Sesampainya di rumah almarhum, aku sempat terkagum-kagum dengan koleksi buku yang terpampang di 3 buah rak buku yang besar. Koleksi bukunya membuatku mupeng. Sembari menunggu maghrib, kusempatkan berbincang-bincang dengan anak bungsu Cak Munir, Dyfa yang kini duduk dikelas empat SD. Setelah kuperhatikan, ternyata wajahnya sangat mirip dengan Mbak Asfin. Kata Mbak suci mereka itu kakak adik. Haha. Tawa renyah memenuhi ruangan.

Menjelang maghrib, rumah almarhum Nampak ramai dipenuhi para mahasiswa dan beberapa tamu. Kami melakukan sholat berjamaah kemudian tahlil yang dipersembahkan untuk Munir, berharap Tuhan selalu memberikan tempat yang terbaik bagi manusia baik seperti dia. Seusai tahlil, tamu kembali berdatangan dan agenda yang semula direncanakan nonton film ‘kiri hijau kanan merah’, dibatalkan lantaran peralatan sound system dan LCD tidak tersedia. Akhirnya kami berkumpul di ruang depan dan memperbincangkan apa yang bisa kita lakukan bagi kasus Munir. Masing-masing dari kami memiliki semangat untuk melakukan sesuatu, ditambah pula beberapa komitemen dari tokoh-tokoh aktivis senior di Malang, lantas kami bersepakat menghidupkan komunitas ‘Sahabat Munir’ di Malang. Kami mau mebelanya, kami mau memperjuangkan apa yang ia cita-citakan. Tentang keadilan, tentang keberpihakan pada yang tertindas, tentang keberanian melawan kekuatan apapun. Itulah inspirasi bagi kami.

Saturday 3 September 2011

Artikel Kritik


Hilangnya Kemanusiaan dalam Transisi Rezim Orde Lama - Orde Baru dan Upaya Rekonsiliasinya (Persepektif Seorang Perempuan)

Jalan sejarah kita dibangun oleh para 'sejarawan' yang mengabdi kekuasaan militer ... Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah harus ditulis di atas kejujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak akan salah mengerti. (Saskia E Wieringa, Politisasi Hubungan Gender di Indonesia, Dok IX 1992:22)

Pengantar

Sejarah selalu dibuat dengan perspektif para pemenang. Sejarah tidaklah objektif seperti halnya fakta itu sendiri. Sejarah selalu berpihak pada pemenang yang memegang hegemoni[1]. Sehingga tak bisa dipungkiri dalam perjalanan menguak kembali fakta sejarah yang 'dimanipulasi' oleh pemenang, rasanya seperti menguak kembali luka lama para pelaku sejarah maupun para korban yang berpijak diatas kaki keadilan dalam menuturkan fakta yang mereka alami.

Demikian halnya yang terjadi di Indonesia. Sejarah bangsa ini berdiri diatas tetesan airmata para saksi dan pelaku sejarah, bahkan kucuran darah dari para korban yang terkalahkan. Jelas bagi kita semua bahwa peristiwa yang terjadi pada tahun 1965, era dimana terjadi transisi rezim orde lama ke orde baru yang kemudian dikenal pula dengan peristiwa G30S PKI, telah mengakar dalam ingatan anak bangsa sebagai tragedi kemanusiaan yang sedemikian hebatnya hingga menewaskan hampir 1 juta jiwa. Bahkan menurut Bertrand Russel, dalam kurun waktu empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun.[2]

Carmel Budiharjo, Direktur Tapol, sebuah organisasi HAM yang berbasis di London mengungkapkan :

'Kejahatan Suharto yang terbesar bukanlah begitu banyak orang yang telah terbunuh atas perintahnya dalam waktu enam bulan setelah aia merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, bukankarena begitu banyak organisasi dinyatakan ilegal dan berjuta-juta orang telah dianiaya, melainkan bahwa ia telah menggunakan kebohongan keboongan unutk menciptakan kkuasaan teror dan mendirikan sistem represif yang mencengkeram Indonesia'.[3]

Dehumanisasi Citra Perempuan dan Mati suri-nya gerakan perempuan

Bukan hanya penghancuran secara besar-besaran segala hal yang berbau dengan Komunis, terlebih dari itu, rezim orde baru dibangun diatas teror terutama bagi kaum perempuan. Orde Baru 'menuduh' para aktivis gerwani melakukan tarian 'harum bunga' dan menyayat tubuh para jendral yang sedang sekarat. Teror itupun secara simbolis diabadikan dalam monumen pancasila dengan menggambar relief peristiwa tarian 'harum bunga' tersebut sebagai simbol amoralitas kaum permpuan. Apalagi perempuan yang bergerak di organisasi akar rumput macam Gerwani yang menyuarakan hak kaum marginal. [4]

Penghancuran citra Gerwani sebagai organisasi perempuan terbesar saat itu dengan keanggotaan mencapai 1,5 juta di seluruh indonesia, berimpilkasi pada 'mati suri'-nya gerakan perempuan dalam periode selanjutnya. Apalagi di rezim orde baru, pemerintah men'domestifikasi' eksistensi perempuan dengan mendirikan organisasi perempuan macam Bhayangkari (Organisasi Persatuan Istri Polisi), Dharma Wanita (Organisasi Persatuan Istri Pegawai negeri Sipil) dan PKK (Pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga) yang notabene menjadi organisasi 'konco wingking' bagi organisasi 'laki-laki'. Citra tentang perempuan yang bergerak dan ikut berpolitik[5] seperti yang dilakukan oleh Gerwani pada eranya, secara simultan digantikan dengan citra kaum perempuan 'baik-baik' dengan wadah baru melalui organisasi-organisasi tersebut. Di era Soeharto pun tak dapat ditemui adanya organisasi perempuan yang cukup revolusioner dan berani menyuarakan hak kaum perempuan seperti yang dilakukan Gerwani pada waktu itu.

Terlebih dari itu, perlakuan rezim Soeharto terhadap para tahanan politik perempuan yang dianggap terlibat dengan Gerwani ataupun siapapun yang secara ideologis punya keterkaitan dengan PKI, sungguh tidak manusiawi. Cerita mengenaskan seperti yang dialami oleh salah seorang tahanan politik perempuan yang berhasil diwawancarai oleh Fransisca Ria Susanti dalam bukunya Kembang-Kembang Genjer bernama Mukinem, seorang Guru TK di Dusun Manisrenggo Prambanan. Kisah pedihnya diawali dengan penangkapkannya pada tahun 1966 oleh para tentara pada saat ia mengajar. Ia dianggap simpatisan Gerwani yang kemudian dipenjara di Gondang Baru dipindah ke Solo, Bulu (Semarang) dan Terakhir di Plantungan (Jogjakarta), baru dibebaskan pada tahun 1979. Perlakuan kejam yang diterima saat menjadi tahanan politik telah merenggut harga dirinya sebagai perempuan, menempatkan statusnya tak lebih hanya sekedar hewan. Pemukulan, pemerkosaan, pemaksaan bertindak asusila dialaminya sebagai tahanan politik yang tak pernah diadili. Jelas secara fisik, psikis dan psikologis ia mengalami penderitaan yang teramat berat. Namun sekali lagi, fakta kecil yang dialami salah seorang tahanan politik perempuan tersebut tak dianggap sebagai cerminan dari penghancuran kemanusiaan anak bangsa.

Membangun kembali Citra Perempuan, sebuah Upaya Rekonsiliasi

Berawal dari dua hal diatas, yaitu mandeg-nya gerakan perempuan dan dehumanisasi citra perempuan, saya mencoba mengajukan konsep rekonsiliasi yang berpotensi besar dalam merubah paradigma masyarakat terhadap peritiwa 1965. Terlebih melihat kondisi kekinian perempuan Indonesia yang masih butuh wadah bagi perkembangan partisipasi perempuan di semua lini seperti ekonomi, politik dan pendidikan, maka rekonsiliasi ini harus bisa menjawab kebutuhan perempuan saat ini. Melihat peluang yang ada, maka rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mengakomodasi dan mendorong korban dan pelaku sejarah 1965 terutama korban perempuan yeng mengalami represi fisik, psikis dan psikologis (walaupun jumlah yang masih hidup sangat minim) untuk menuturkan pengalaman mereka. Sehingga objektifitas sejarah tidak hanya dari persepektif 'pemenang' yaitu rezim orde baru, tapi juga dari persepektif korban perempuan yang selama ini terkalahkan.

2. Menuliskan kembali sejarah 1965 secara jujur dan objektif terutama menyangkut perbaikan citra gerakan perempuan yang terlanjur ternoda dengan fitnah keji rezim orde baru. Penulisan kembali sejarah tersebut diarahkan unutk konsumsi di lingkup pendidikan formal yang menjadi tombak dalam mengubah pandangan masyarakat. Terlebih pendidikan formal 9 tahun yang wajib dijalani oleh setiap warga negara, berpotensi menanamkan pemahaman baru terkait dengan periwtiwa 1965 yang selama ini ditulis oleh para 'pemenang'.

3. Menyuarakan kembali gerakan perempuan di tingkatan akar rumput untuk mendorong gerakan perempuan lebih progresif dalam menyikapi isu yang terkait dengan permasalahan perempuan. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Gerwani yang selama ini menjadi momok sejarah, gerakan perempuan era kekinian dapat mengambil semangat para aktivis Gerwani. Hal ini kemudian berimplikasi pada pengakuan dan penghormatan terhadap Gerwani sebagai organisasi perempuan 'korban' dalam peristiwa 1965. Bagaimanapun, kooptasi 1965 terhadap Gerwani harus dihapuskan dengan membangun kembali gerakan serupa demi mengulang kebangkitan kaum perempuan

4. Mendorong pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc kasus 1965 sebagai bentuk pertanggungjawaban negara terhadap hilangnya kemanusiaan perempuan korban Atau menuntut negara untuk menetapkan peritiwa 1965 sebagai tragedi kemanusiaan yang perlu disikapi kemudian melakukan rekonsiliasi bagi para perempuan korban.

Sumber Bacaan

Annonymous. 2002. The Long Road to Democrazy. Jakrta : YAPPIKA

Fic, Victor M. 2008. Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi tentang Konspirasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Komnas Perempuan. 2009. Kita Bersikap : Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalnaan Berbangsa, Jakarta : Komnas Perempuan

Jurnal Perempuan edisi 63 2010, Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan

Susanti, Fransisca Ria. 2002. Kembang-Kembang Genjer. Yogyakarta : Jejak

Wieringa, Saskia. 1998. Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan sesudah 1950, Jakarta : Kalyanamitra



[1] Secara konseptual, Antonio Gramsci mengelaborasikan Hegemoni sebagai berikut : supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua hal cara, sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan intelektual dan moral”, dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersanjata; di lain pihak, kelompok-kelompok memimpin kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan kepemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan syarat-syarat utama untuk mendapatkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekan kekuasaan, tapi bahkan bila ia sudah memegang kekuasaan penuh di tangannya, dia masih harus “memimpin” juga. (Gramsci, 1976;57-58). Dalam kasus tragedi 65 jelas bahwa rezim Soeharto pada saat masa transisi telah men-design pola penggiringan alam bawah sadar masyarakat Indonesia sebagai bentuk awal dari proses hegemoni untuk membenci segala yang berbau dengan Komunis dan PKI. Hal tersebut berefek pada hancurnya PKI dan organisasi-oranisasi yang menjadi basis gerakan di tingkatan akar rumput macam BTI, SOBSI dan Gerwani yang dianggap secara ideologis dekat dengan PKI (Walaupun secara organisatoris bukan underbouw partai).

[2] Lihat Annonymous, The Long Road to Democrazy, 2002, Jakarta : YAPPIKA

[3] ibid

[4] Program-program kerja Gerwani pada saat itu seperti mendirikan TK Melati sebagai unit pendidikan rakyat miskin, mendirikan tempat penitipan anak agar perempuan Petani dan buruh leluasa menjalankan peran publik mereka tanpa terbebani peran domestik perempuan, mengkampanyekan anti poligami sekaligus gerakan penyadarannya, sekaligus melakukan pemberdayaan perempuan di tingkatan desa hingga daerah terpensil dengan mngirimkan kader-kader ke seluruh pelosok daerah.

[5] Pada saat itu, Gerwani memiliki perwakilan di DPR yang terlingkup dalam Golongan Karya. Salah satunya adalah Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani. Selain itu, gerakan Gerwani juga memberikan wacana politik bagi para kadernya dengan menerbitkan buletin Api Kartini sekaligus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi para kader.

Friday 2 September 2011

Rumah Tuhan yang ‘Terlarang’ ( Menyoal Fenomena Pelarangan Pendirian & Perusakan Rumah Ibadah) Nurul Mahmudah


Pengantar

Kebebasan beragama berkeyakinan dalam kurun waktu terakhir ini seringkali diperbincangkan sebagai diskursus nasional di Indonesia. Beberapa waktu silam, tak dapat dipungkiri konflik beragama menjadi fenomena yang cukup ‘memalukan’ dari bangsa indonesia di kancah internasional. Sebut saja konflik Ambon, Poso dan Sampit yang memakan korban dari masyarakat sipil maupun militer. Kini, persoalan kebebasan beragama menmukan varian fenomena baru yang patut disoroti. Era reformasi yang lebih demokratis dimana bentuk-bentuk manifestasi agama sebagai bagian dari kebebasan beragama berkeyakinan di indonesia mendapatkan jaminan dalam Undang-Undang Dasar, Hukum Internasional maupun Hukum Nasional, ternyata tak serta merta dapat dinikmati dengan leluasa oleh umat beragama di Indonesia.

Persoalan krusial yang terjadi berupa pelarangan pendirian ataupun peruskan tempat ibadah yang dilakukan oleh masyarakat ataupun otoritas pemerintahan setempat. Berikut beberapa kasus yang pelarangan ataupun perusakan rumah ibadah :

“...pada Senin (19/7/2010), Sat Pol PP membongkar secara paksa Gereja Pantekosta di Cileungsi Kabupaten Bogor. Pembongkaran gereja Pantekosta dilakukan oleh Sat Pol PP dengan alasan belum memiliki ijin dan adanya protes dari Forum Silaturahmi Limusnunggal (Fosmil).[i]

“Kebaktian 200 jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat, terganggu karena diprotes warga muslim yang menolak rencana pembangunan gereja, Ahad (25/7). Kebaktian dilaksanakan di lahan kosong Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya. Mereka beribadah sambil berdiri di bawah pohon rambutan, setelah awal Juli lalu, Pemerintah Kota Bekasi menyegel sebuah rumah yang biasa mereka gunakan kebaktian di jalan Puyuh Raya, Mustika Jaya, karena tidak mengantongi izin.”[ii]

“Akibat tak mengantongi IMB dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sebuah gereja di Dampit dirobohkan. Bangunan yang dirobohkan adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Eliezer di Dukuh Ubalan Desa Pamotan Kecamatan Dampit.
Gereja yang baru dalam tahap pembangunan tembok itu dirobohkan atas persetujuan panitia pembangunan mulai Kamis (14/4) malam sampai kemarin pagi.”[iii]

Ketiga kasus diatas paling tidak bisa menggambarkan bahwa persoalan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah telah dinodai dengan aksi intoleran berupa perusakan ataupun kendala administratif dari pemerintah. Berngakat dari persoalan diatas, maka dibutuhkan analisa dalam berbagai pesrpektif untuk menemukan solusi demi tegaknya Hak Asasi Manusia. Negara sebagai pemangku kewajiban dalam hal pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM, selayaknya dapat memfasilitasi persoalan diatas dengan membangun kerangka hukum yang legal dan adil dalam penerapannya.

Konsep Kebebasan Beragama-Berkeyakinan

Memperbincangkan kebebasan beragama berkeyakinan, tak bisa terlepas dari konsep Hak Asasi Manusia dalam perkembangan dunia internasional. Dalam Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia (DUHAM), jaminan kebebasan beragama diatur dalam pasal 18[iv]. Ketentuan serupa juga dapat ditemukan dalam ICCPR (International Covenant On Civil and Political Right) pasal 18 ayat 1 hingga ayat 4[v]. Dalam tataran Hukum nasional, Jaminan kebebasan beragama berkeyakinan sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 28E ayat 1[vi], Pasal 28I ayat 1[vii], Pasal 28J ayat 2[viii] dan Pasal 29 ayat 2. Dapat dikatakan bahwa untuk mempertahankan ide demokratisasi, Indonesia telah membangun kerangka hukum yang melindungi hak asasi warga negaranya.

Kebebasan beragama berkeyakinan merupakan non derogable right. Hak tersebut tidak dapat ditangguhkan pemenuhannya meski negara dalam keadaan bahaya atau perang. Manfred Nowak, Special Reppourter PBB memberikan penjelasan dalam bukunya ‘Pengantar Pada Rezim HAM Internasional’ sebagai berikut :

“Hak-hak khusus seperti larangan penyiksaan dan perbudakan atau larangan aturan-aturan pemberian hukum yang retroaktif, serta, sampai batas-batas tertentu, hak untuk hidup, kebebasan pribadi, kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan, dianggap sebagai hak-hak yang tidak terpengaruh keadaan darurat yang tidak dapat dibatasi bahkan pada masa perang.”[ix]

Secara konseptual, kebebasan beragama berkeyakinan dibagi dalam dua ranah, yaitu kebebasan forum internum dan kebebasan forum eksternum. Kebebasan dalam forum internum (freedom to be adalah kebebasan perorangan yang mutlak, asasi, di mana tak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan (intervensi) terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan kebebasan ini. Adapun rumpun kebebasan internal adalah (1) hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama.[x]

Sementara itu, kebebasan dalam forum eksternum eksternum atau kebebasan sosial dalam situasi khusus negara diperbolehkan membatasi atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, namun dengan margin of discretion atau prasyarat yang ketat dan legitimate. kebebasan eksternaltersebut antara lain (1) kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan. [xi]

Pembatasan terhadap kebebasan beragama berkeyakinan ditentukan dalam ICCPR pasal 18 ayat 3[xii] dimana pembatasan tersebut harus memenuhi kelima prasayarat, yaitu untuk melindungi keselamatan masyarakat (Public safety), Ketertiban Masyarakat (Public order), Kesehatan Masyarakat (Publik Health), Etika dan Moral Masyarakat (Morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (The fundamental rights and freedom of others).

Kelima pembatasan tersebut diperbolehkan jika diatur menurut hukum dan dibutuhkan dalam masyarakat yang demokratis. Dewan HAM Eropa menetapkan syarat-syarat pembatasan sebagai berikut :

a. Pembatasan dibuat untuk tujuan yang benar-benar legitimated

b. Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka dmokratis (jadi harus oleh parlemenatau lembaga yang diberi kekuasaan oleh parlemen untuk menyusun hukum yang memenuhi proses berkeadilan, baik secara prosedural maupun susbtansial.

c. Pembatasan teresbut harus benar-benar merupakan necesitas bagi masyarakat demokratis, tidak hanya sekedar berguna dan beralasan.

Mengenai pembatasan tersebut, Uli Parulian Sihombing memberikan penjelasan sebagai berikut :[xiii]

Pertama, Restrcition For The Protection Of Public Safety dibenarkan pembatasan dan pelarangan terhadp ajaran agama yang membahayakan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya meenyuruh pemeluknya bunuh diri.

Kedua, Restriction For The Protection Of Public Order. Pembatasan dalam memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Diantaranya adalah aturan tentang kehasruan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah di lokasi umum dsb.

Ketiga, Restriction For The Protection Of Public Health. Misalnya pelarangan terhadap agama yang mengharuskan pemeluknya berpuasa sepanjang tahun karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.

Keempat, Restriction of the Protection Of Morals. Misalnya melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

Kelima, Restriction For The protection of The Fundamental Rights and Freedom Of Others. Misal adanya hukuman terhadap tindakan proselytism (Penyebaran agama), pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.

Sementara itu, dalam UUD 1945, dapat ditemukan ketentuan pembatasan terhadap pelaksanaan HAM termasuk Kebebasan beragama dalam pasal 28J ayat 2 yaitu :

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasanyang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

Klausula pembatasan dalam ketentuan tersebut masih banyak perdebatan dimana ‘nilai-nilai agama’ menjadi salah satu prasyarat dalam melakukan pembatasan. Persoalan yang patut dipertanyakan kemudian adalah ‘nilai-nilai’ agama apa yang dijadikan acuan dalam melakukan pembatasan?. Hal ini kemudian akan berujung pada interpretasi sepihak dari negara tentang ‘nilai-nilai agama’ tertentu, terlebih ketika menegasikan keberadaan agama minoritas. Dalam hal ini, negara berpotensi menjadi pihak yang ‘tidak netral’ dalam menjamin kebebasan beragama-berkeyakinan warga negara.

Dalam kasus pendirian tempat ibadah sebagai bagian dari kebebasan eksternal pada prinsipnya boleh dibatasi atau diatur oleh negara. Namun harus tetap memperhatikan persyaratan yang ketat dan legitimate sperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, Hukum internasional dan prinsip siracrusa agar tidak melanggar kebebasan beragama-berkeyakinan itu sendiri.

PBM : Menyoal Legitimasinya dalam Pengaturan Rumah Ibadah

Pengaturan mengenai rumah ibadah oleh negara menurut ICCPR ataupun UUD 1945 memang diperbolehkan, karena pendirian rumah ibadah merupakan salah satu bagian dari kebebasan eksternum. Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah diwujudkan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 mengenai Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah (selanjutnya disebut PBM.red).

Mengingat ketentuan mengenai pembatasan terhadap kebebasan eksternal dimana ICCPR menetapkan bahwa pembatasan harus diwujudkan dalam ketentuan hukum, nampaknya keberadaan PBM yang mengatur mengenai pendirian rumah ibadah patut dipertanyakan legitimasinya. Dalam hirearki peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Bersama Menteri bukan merupakan sumber hukum yang legal. Terlebih jika peraturan bersama tersebut digunakan untuk membatasi hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan bahkan hukum internasional yang telah diratifikasi dan menjadi hukum positif.

PBM tersebut lebih jauh mengatur mengenai persyaratan adminsitratif dalam pembangunan rumah ibadah. Dalam beberapa kasus pedndirian gereja, seperti salah kasus yang disebutkan diatas, pembangunan tempat ibadah seringkali terkendala di wiayah pesryaratan administratif. Dalam PBM persyaratan tersebut diatur sebagai berikut :

Pasal 14

(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota

Persyaratan pendirian rumah ibadah yang seringkali menjadi kendala tersebut tidak berangkat dari pertimbangan rasional. misalnya saja pesryaratan mengenai pengguna rumah ibadah yang harus berjumlah 90 orang dan persetujuan warga sekitar yaitu 60 orang. Ketentuan tersebut tidak berangkat dari pertimbangan yang relevan sebagai salah satu persyaratan yang ditetapkan dalam pendirian rumah ibadah sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama berkeyakinan. Sehingga legitimasi dari perber 2 hukum tersebut dalam mengatur mengenai pendirian tempat ibadah dapat diuji materilkan. Secara norma memilkii cacat dalam hal substansi pengaturan dan secara formal juga tidak memenuhi kriteria dari jenis produk hukum yang diakui alam UU No 10 tahun 2004.

Jelas bahwa pelarangan terhadap pendirian rumah ibadah dengan berbagai bentuk pembatasan seperti kendala administratif melanggar kebebasan beragama-berkeyakinan. Seperti diungkapkan diawal bahwa pembatasan terhadap kebebasan beragam haruslah dilaksanakan dalam kerangka hukum yang legal. Keberadaan PBM yang ‘cacat’ dari segi formal maupun kerangka substansi yang tidak relevan dengan perspektif rumah ibadah dari setiap agama, semakin melegitimasi pelanggaran HAM yang dilakukn oleh negara. Negara sebagai pemangku kewajiban (Duty Holder) dalam menjamin Hak warga negaranya tidak mampu menyediakan kerangka hukum yang legal demi menegakkan kebebasan beragam berkeyakinan warga negara.

Dalam prakteknya, PBM menimbulkan permasalahan berupa tindakan intoleransi masyarakat teradap pendirian rumah ibadah umat beragama yang lain. Contoh kasus terjadi di Bekasi terkait dengan protes umat islam dalam pendirian Gereja HKBP Pondok Timur Indah. Dalam kasus tersebut, penolakan warga terhadap pembangunan gereja berangkat dari tidak dipenuhinya persyaratan ‘persetujuan warga’ yang ditetapkan dalam PBM. Penolakan warga terhadap pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan Intoleransi yang justru mendapatkan legitimasi dalam PBM, sehingga pendirian rumah ibadah terkendala. Lebih jauh, tindakan intoleransi tersebut diwujudkan dengan aksi-aksi kekerasan berupa perusakan geraja Gereja Santo Albertus di Kompleks Harapan Indah, Kota Bekasi yang dilakukan oleh sekitar 1.000 orang yang terjadi pada tahun 2009 silam.

Menurut Data dari Paramadina[xiv], Pada tahun 2008 terjadi 15 insiden pelanggaran yang terkait dengan isu Pendirian Rumah Ibadah, enam di antaranya masuk ke dalam dimensi regulasi negara (14% dari totalnya) dan sembilan lainnya termasuk ke dalam dimensi regulasi sosial (juga 14% dari totalnya). Sudah lama masalah rumah ibadah, khususnya pembangunan gereja, menjadi sumber kesalahpahaman dan, akibatnya, ketegangan antarumat beragama. Peristiwa penutupan, pengrusakan, sampai pembakaran rumah ibadah berlangsung secara sporadis sejak masa Soekarno, mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dan terus berlanjut sampai sekarang. Data FKKS (Forum Komunikasi Kristen Surabaya), misalnya, mencatat ada sekitar 358 gereja yang ditutup, dirusak dan bahkan dibakar antara tahun 1945 dan 1997, dengan jumlah tertinggi (132 kasus) terjadi pada periode 1985-1994 (Tahalele & Santoso 1997: 39).

Lebih jauh, Laporan Paramadina menyebutkan bahwa PBM ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan pendirian rumah ibadah. Akhir 2007, tim KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) melapor pada Komnas HAM perihal penutupan dan perusakan gereja yang masih terus terjadi pasca diterapkan PBM. Dalam laporan mereka, tercatat 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja terjadi sejak 2004-2007. Dengan rinciannya, pada tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Dari pantauan, kasus-kasus tersebut paling banyak terjadi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Poso dan Bengkulu (Suara Pembaruan, 15 Desember 2007). Malah, jika dilihat kasus-kasusnya, ada gejala di mana niat baik perumusan SKB sebagai gentlemen agreement yang paling mungkin dicapai, justru dibelokkan demi kepentingan sekelompok kalangan yang tidak bertanggung jawab.[xv]

Dari paparan dan analisa diatas, persoalan pendirian ibadah berawal dari ketentuan hukum yang tidak akomodatif dan berpotensi melanggar hak kebebasan beragam berkeyakinan warga negara. PBM sebagi intrumen hukum yang mengatur pendirian rumah ibadah harus di-uji materiil-kan untuk mempersoalkan legitimasi substansi dan formalnya.

Kesimpulan

Kebebasan beragama-berkeyakinan di Indonesia sudah dijaminkan dalam berbagi ketentuan hukum seperti Undang-Undang Dasar, Hukum Internasional yang telah diratifikasi hingga hukum nasional. Namun persoalan intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama berkeyakinan masih seringkali terjadi. Terkait dengan kebebasan mendirikan rumah ibadah sebagai bagian dari kebebasan eksternum, pengaturanya berupa PBM ‘cacat’ secara formal dan substansi. Dalam praktiknya, PBM tersebut melegitimasi aksi intoleransi yangd dilakukan oleh pemerintah untuk melarang pendirian tempat ibadah maupun aksi kekerasan dan sepihak dari masyarakat. Persoalan tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam mmeberikan jaminan hukum yang legal dan akomodatif bagi pelaksanaan kebebasan beragam-berkeyakinan warga negara.



[iv] Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikkannya,melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri

[v] 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

4. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

[vi] Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan menginggalkannya serta berhak kembali.

[vii] Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

[viii] Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetepkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agam, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

[ix] Lihat halaman 62, Terjmhn. Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute.

[x] Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB.

[xi] Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB

[xii] Komentar Umum Nomor 22 ayat 9 memberikan penjelasannya sebagai berikut : “Pasal 18.3 mengijinkan adanya pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya jika pembatasan tersebut diatur oleh ketentuan hukum dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan mendasar orang lain...”. Pembatasan terhadap pelaksanaan Hak dalam konvensi Hak sipil ini berdasarkan Prinsip Siracrusa. Prinsip Siracusa adalah prinsip tentang ketentuan pembatasan dan derogasi hal dalam ICCPR. Lahir dalam pertemuan Panel 31 ahli hak asasi manusia dan hukum internasional dari berbagai negara di Sicilia Italia tahun 1984. Pertemuan ini menghasilkan seperangkat standar interpretasi atas klausul pembatasan hak dalam ICCPR

[xiii] Sihombing, Uli Parulian, Menggugat Bakor Pakem : Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, 2008, ILRC.

[xiv] Laporan Penelitian YAYASAN WAKAF PARAMADINA (YWF), MAGISTER PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK (MPRK) dan THE ASIA FOUNDATION, “MELAPORKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA 2008: EVALUASI ATAS LAPORAN THE WAHID INSTITUTE, SETARA INSTITUTE, DAN CRCS-UGM”, Juli – 2009.

[xv] Ibid