About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Saturday 20 June 2009

Perempuan Indonesia Antara Legitimasi Hukum dan Struktur Patriarki


Perdebatan mengenai persoalan “Gender” tak kunjung usai. Ruang diskursus terhadap permasalahan-permasalahan sosio-kultural maupun agama selalu terbuka dalam mempertanyakan eksistensi gerakan yang mengatasnamakan kesetaraan gender sebagai refleksi dari perkembangan HAM di dunia.

Di Indonesia sendiri, R.A Kartini sedemikian tersohor sebagai tokoh yang memeperjuangkan “Emansipasi Wanita ditengah budaya patriarki yang sedemikian mengakar kuat dalam struktur sosial masyarakat Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, Emansipasi ternyata dimaknai tidak hanya sekedar “Gerakan perempuan”, namun lebih dari itu, emansipasi merujuk pada nilai-nilai HAM yang menggema dengan lantang pasca tumbangnya rezim orde baru. Nilai-nilai HAM yang merefleksikan kesamaan hak serta kesempatan yang sama pada diri setiap manusia-termasuk perempuan-membawa paradigma baru dalam perkembangan gerakan perempuan Indonesia.

Legitimasi hukum dalam mengakulturasikan persoalan gender tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan jender. Tahap sebelumnya Indonesia telah menapaki sebuah reformasi persoalan gender dengan meratifikasi Convention On The Elimination Of Discrimination Againts Woman melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Dalam hal ini semakin memperkuat legitimasi isu persoalan perempuan yang tersubordinat kedudukannya sehingga pergerakan perempuan untuk mencapai kesetaraan dilakukan lebih massive.

Namun ternyata, persoalan gender tak hanya selesai ketika tataran legitimasi hukum telah dicapai. Menurut teori “efektifitas hukum” dari Lawrence Friedman, berlakunya hukum positif bergantung pada “strucrure”, “culture” dan “substansi”. “Structure” memang menjadi sulit ketika persoalan bias gender dihadapkan dengan legitimasi hukum. Sehingga hukum pun mempunyai kendala untuk diimplementasikan karena struktur sosial patriarki yang mengakar kuat tersebut.

Fenomena kekerasan terhadap perempuan masih seringkali terjadi, entah dalam bentuk fisik maupun psikis. Walaupun sudah ada Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, masih saja banyak perempuan yang tersiksa di lingkungan rumah tangga. Manohara, Cici Paramida dan banyak perempuan lain menjerit dibawah struktur yang melemahkan mereka. Menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan rentan ditindas.

Dalam ranah publik pun, persoalan pelik menghinggapi perempuan yang terjun ke dunia yang dikonstruksikan sebagai domain laki-laki dalam beraktualisasi (perempuan di ranah domestik saja.red). Ketika berhadapan dengan dunia publik, maskulinitas laki-laki menyingkirkan sisi feminitas perempuan sehingga apapun berperspektif laki-laki. Hal ini tak ayal membuat perempuan jengah juga berada pada kondisi yang terkesan dipaksakan tersebut. Contohnya dalam dunia politik yang baru-baru ini ramai menjadi ajang perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan adanya kuota 30% yang diperuntukkan bagi perempuan, mendorong para perempuan untuk berani meramaikan kancah perpolitikan yang didominasi laki-laki. Sekali lagi perempuan mendapat tantangan karena pandangan-pandangan subjekif terhadap mereka yang terjun ke kancah politik hanya bermodal paras, bukan kapabilitas.

Inilah realita dinamika prempuan Indonesia yang memang patut diperhatkan, khususnya oleh kaum perempuan sendiri. Mengingat banyak kasus yang mendiskreditkan perempuan, tentu saja perlu adanya upaya dari para perempuan sendiri untuk mengubah struktur dan stereotype yang merugikan mereka. Hal ini tidak kemudian mendiskreditkan posisi laki-laki yang selama ini “diatas angin”. Kekhawatiran yang timbul adalah jika konstruk sosial yang selama ini terbangun lalu runtuh akan mendiskreditkan keberadaan kaum laki-laki. Tentu saja tidak, justru ketika kesetaraan kedudukan serta kesamaan kesempatan dan hak itu tercapai, akan tercipta sinergitas relasi antara laki-laki dan perempuan yang kondusif bagi pembangunan bangsa.