About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Sunday 19 September 2010

Feminisasi Kemiskinan Pekerja Perempuan Sektor Informal


Feminisasi Kemiskinan Pekerja Perempuan sektor Informal[1]

Oleh

Nurul Mahmudah[2]

“Ketika persoalan perempuan sudah menjadi persoalan semua orang,

Ketika korban tidak malu dan takut menuntut hak-haknya,

Dan ketika semua orang lebih proporsional dengan tidak menghukum perempuan,

Maka saat itulah kita berhak tersenyum atas perjuangan kita”

(Muji Kartika Rahayu - Aktivis Perempuan)

Pengantar

Berbicara mengenai fenomena pekerja perempuan, kita akan melihat realita yang cukup memprihatinkan yang dialami kaum perempuan. Berbagai fenomena tersebut seringkali menjadi sorotan tersendiri yang membuat kita ‘mengelus dada’. Masih teringat jelas di benak kita sosok Marsinah, aktivis buruh asal Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, yang hingga kini dikenang sebagai pejuang kaum buruh. Mayatnya ditemukan meninggal pada tanggal 9 Mei 1993, era dimana pemerintahan rezim orde baru Soeharto berkuasa. Pasca reformasi 1998 pun kondisi buruh perempuan tidak mengalami perbaikan. Para buruh perempuan yang bekerja di negeri seberang atau yang sering kita kenal dengan sebutan buruh migran atau juga Tenaga Kerja Wanita (TKW) seringkali mendapatkan perlakuan yang buruk. Mulai dari sexual harrasment (kekerasan seksual : berupa pemerkosaan, pelecehan seksual dll), kekerasan fisik seperti pemukulan bahkan penganiayaan fisik yang tidak manusiawi seperti disetrika[3], atau bahkan meninggal dunia serta rentan terhadap Human Traficking. Fenomena kekerasan terhadap pekerja perempuan, terutama yang bekerja di sektor informal seperti Pembantu Rumah Tangga (PRT) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW)[4] di luar negeri, terjadi lantaran lemahnya posisi buruh di mata majikan. Apalagi tidak ada perlindungan yang memadai bagi buruh perempuan sektor informal, tanpa perjanjian kerja yang jelas, tanpa batasan jam kerja, tanpa standardisasi upah yang menjadi indikator kesejahteraan pekerja. Namun terkadang hal tersebut juga tidak disadari oleh perempuan yang bekerja di sektor informal tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan kita perlu mengurai penyebab terkonsentrasinya perempuan pada sektor pekerjaan informal yang minim perlindungan hukum, rendahnya tingkat kesejahteraan serta upaya yang harus dilakukan untuk mengentaskan permasalahan tersebut.

Dari Desa ke Kota, kenapa sektor informal?

Perempuan bekerja bukan sebuah hal yang tabu. Ketika keran industrialisasi dan liberalisasi ekonomi dibuka, mau tak mau perempuan dituntut untuk terlibat aktif. Proses urbanisasi tenaga kerja dari desa ke kota pun membawa turut serta tenaga kerja perempuan untuk mencari penghidupan di kota-kota besar, bahkan ketika lapangan kerja di dalam negeri serasa tidak menjanjikan kesejahteraan ekonomi yang memadai, mereka tidak segan untuk pergi ke luar negeri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan permpuan bekerja. Pertama, tuntutan ekonomi keluarga, faktor ekonomi pula yang sering dijadikan alasan seseorang untuk melakukan tindak kriminalitas. Faktor ini juga menjadi alasan kuat perempuan untuk bekerja. Sekitar 50% perempuan bekerja karena tekanan ekonomi, (Kompas, 5/6/2004). Kedua, perempuan butuh ruang aktualisasi bagi dirinya yang telah lama terdomestifikasi oleh budaya patriarki. Ketiga, perempuan ingin mandiri. Konsepsi budaya bahwa perempuan adalah konco wingking bagi laki-laki telah mereduksi fungsi sosial perempuan, termasuk dalam bidang ekonomi.

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja tidak serta merta menjanjikan kesejahteraan bagi mereka. Bagi para buruh (terutama perempuan), mahalnya biaya pendidikan adalah malapetaka, karena membuat kelompok ini menjadi sangat rendah daya tawarnya serta rentan akan tindak kekerasan dan ketidakadilan. Dengan hanya 14,9% perempuan yang lulus SMA, dan 2,8% lulus Diploma dan Strata 1-3, maka 83% perempuan Indonesia hanya mengantongi ijazah SMP, SD atau malah tidak berijazah sama sekali alias tidak pernah sekolah. Selain putus sekolah akibat tidak mampu membayar biaya sekolah, motivasi anak-anak perempuan untuk melanjutkan pendidikan juga dihambat oleh konservatisme keluarga yang patriarkis, dimana anak laki-laki yang harus diprioritaskan. Menurut Depdiknas, kawin usia muda kemudian menjadi pilihan para perempuan desa yang putus sekolah ini (5,13% tingkat SD dan 16,72% tingkat SMP) Sebagai contoh, dari bulan Januari-April 2004, hanya 10,75% TKI kita yang ditempatkan di sektor formal di luar negeri. Selebihnya, yaitu 89,25% terdampar ke sektor informal. Di sektor informal ini, 93,5%-nya adalah buruh migran perempuan, yang mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga.[5] Di dalam negeri pun, 70% tenaga perempuan bekerja di sektor informal (44%-nya adalah pembantu rumah tangga), yang rendah keterampilan, minim upah serta tanpa perlindungan hukum. Hal ini berarti pendidikan bagi perempuan memang menjadi masalah utama kenapa para perempuan cenderung terkonsentrasi ke sektor informal.

Rendahnya pendidikan tersebut kemudian diikuti oleh stigma bahwa perempuan adalah manusia domsetik, secara kodrati takdir yang mereka bawa adalah untuk berperan dalam lingkup tersebut.[6] Sehingga ketika pendidikan yang cukup memadai tak mampu mereka peroleh, ketrampilan rumah tangga seakan menjadi satu-satunya pilihan yang mereka tawarkan ke dunia kerja. Alhasil, mayoritas pekerja rumah tangga adalah perempuan yang tidak berpendidikan serta berpendapatan minim. Hal yang sama juga terjadi pada buruh migrant perempuan yang menjadi TKW di luar negeri. Rata-rata mereka adalah perempuan berpendidikan SD hingga SMP yang tidak memiliki cukup persyaratan untuk memasuki dunia kerja sektor formal yang mensyaratkan tenaga kerja berpendidikan minimal SMA/SMK- Perguruan Tinggi.

Feminisasi Kemiskinan[7], antara Pendidikan dan kesejahteraan Ekonomi

Feminisasi kemiskinan merujuk pada proses ketidkaberdayaan ekonomi perempuan akibat dari ketidakterjangkauan akses kesejahteraan bagi perempuan. Nyata terlihat di Indonesia saat ini, feminisasi kemiskinan itu terjadi lantaran pendidikan tidak terjangkau oleh masyarakat miskin, apalagi bagi perempuan yang terlanjur menyandang beban sebagai pelaku aktif ranah domsetik. Pendidikan sebagai hak konstitusionil warga negara yang tercantum dalam pasal 31 UUD 1945 serta menjadi cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, bahwa tujuan negara ini adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tak mampu diterjemahkan oleh pemerintah negara ini. Padahal, prinsip utama pendidikan adalah memanusiakan manusia termasuk juga perempuan, berfungsi sebagai modal awal aktualisasi diri bagi manusia melalui bekerja. Karl Marx mengatakan bahwa bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi dirinya. Bekerja pada dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk, dan pembentuk jaringan sosial. Manusia eksis bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. Esensi dari proses bekerja tersebut tentunya harus ditopang dengan pendidikan yang memadai, termasuk pendidikan bagi kaum perempuan sebagai angkatan kerja produktif dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa.

Proses liberalisasi ekonomi yang mengamini konsep kapitalisme juga melemahkan posisi perempuan. Sebagai tenaga kerja murah yang tidak terdidik, perempuan minim perlindungan dan bahkan tidak menyadari hak-haknya sebagai pekerja. Budaya patriarki yang masih kuat berakar di berbagai komunitas, kelas sosial dan kelompok masyarakat, membuat tambahan beban yang tak kalah hebatnya. Kemiskinan, bagi perempuan, adalah hasil dari sebuah kerja sama erat antara strategi ekonomi penguasa dengan praktek patriarki dalam hidupnya sehari-hari.[8]

Penutup

Mempersoalkan feminisasi kemiskinan yang terjadi ternyata berakar dari Pendidikan serta mainstream masyarakat terhadap perempuan. Patriarki yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam hal pendidikan, harus di dekonstruksi guna pemberdayaan pendidikan bagi perempuan dapat tercapai. Pemberdayaan ekonomi pedesaan yang menjadi kantong-kantong asal pekerja perempuan sektor informal yang tidak terdidik, tentu saja harus di sinergiskan dengan perubahan mainstream masyarakat itu sendiri. Sehingga, pekerja perempuan sektor informal tak perlu ada karena memang tak layak disebut sebagai pekerjaan, tanpa dibekali ketrampilan, perlindungan hukum yang jelas, standardisasi upah serta jaminan sosial yang layak.


[1] Sektor informal yang penulis maksud adalah sektor domestik/rumah tangga yang menjadi ranah kerja kaum perempuan, seperti Pembantu Rumah Tangga atau TKW di luar negeri.

[2] Penulis adalah Wakil sekertaris umum Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Perempuan (4P) HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya. Penulis juga aktif di Komunitas Aku Perempuan dan LPM ManifesT FH-UB.

[3] Kasus siksaan disetrika pernah dialami oleh Tina Fatimah binti Ujang (23) pada bulan november 2007. TKW asal Cianjur yang pulang bekerja dari Arab Saudi ini mengalami luka bakar yang menghitam akibat disetrika yang berada di paha, punggung dan tangan.

[4] Istilah PRT atau Pembantu/Pekerja Rumah Tangga mengacu pada pekerja perempuan sektor domestic/ rumah tangga yang ada di dalam negeri. Sementara istilah TKW (Tenaga Kerja Wanita) mengacu pada pekerja perempuan di luar negeri atau buruh migrant. Kedua jenis sebutan pekerja tersebut mayoritas berada di lingkup domsetik/rumah-tangga yang minim perlindungan hukum, rendahnya tingkat kesejahteraan hingga rentan terhadap berbagai perlakuakan kekerasan.

[5] http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=artikel%7C0%7CX
Dita Indah Sari (Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik) dalam artikel berjudul “Buruh Perempuan: Kemanusiaan dan Produktivitas yang Sia-sia 

[6] Dalam konsepsi jawa sering di sebutkan adagium “Dapur, Sumur, Pupur, Kasur” atau “Masak, Manak, Macak”

[7] The poverty feminization relates with the patriarchy culture which still develops in the society. Because of this culture mainly puts the woman in subordinate, the most marginal and the most discrimination position. Therefore, the woman poverty has more specific character which needs a special handling for example by using poverty prevention approach with gender perspective . Ni Luh Arjani dalam “Feminisasi Kemiskinan dalam Kultur Patriarki.

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi%20kemiskinan%20%20dalam%20%20kultur%20patriarki.pdf