About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Friday 2 September 2011

Rumah Tuhan yang ‘Terlarang’ ( Menyoal Fenomena Pelarangan Pendirian & Perusakan Rumah Ibadah) Nurul Mahmudah


Pengantar

Kebebasan beragama berkeyakinan dalam kurun waktu terakhir ini seringkali diperbincangkan sebagai diskursus nasional di Indonesia. Beberapa waktu silam, tak dapat dipungkiri konflik beragama menjadi fenomena yang cukup ‘memalukan’ dari bangsa indonesia di kancah internasional. Sebut saja konflik Ambon, Poso dan Sampit yang memakan korban dari masyarakat sipil maupun militer. Kini, persoalan kebebasan beragama menmukan varian fenomena baru yang patut disoroti. Era reformasi yang lebih demokratis dimana bentuk-bentuk manifestasi agama sebagai bagian dari kebebasan beragama berkeyakinan di indonesia mendapatkan jaminan dalam Undang-Undang Dasar, Hukum Internasional maupun Hukum Nasional, ternyata tak serta merta dapat dinikmati dengan leluasa oleh umat beragama di Indonesia.

Persoalan krusial yang terjadi berupa pelarangan pendirian ataupun peruskan tempat ibadah yang dilakukan oleh masyarakat ataupun otoritas pemerintahan setempat. Berikut beberapa kasus yang pelarangan ataupun perusakan rumah ibadah :

“...pada Senin (19/7/2010), Sat Pol PP membongkar secara paksa Gereja Pantekosta di Cileungsi Kabupaten Bogor. Pembongkaran gereja Pantekosta dilakukan oleh Sat Pol PP dengan alasan belum memiliki ijin dan adanya protes dari Forum Silaturahmi Limusnunggal (Fosmil).[i]

“Kebaktian 200 jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah, Kota Bekasi, Jawa Barat, terganggu karena diprotes warga muslim yang menolak rencana pembangunan gereja, Ahad (25/7). Kebaktian dilaksanakan di lahan kosong Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustika Jaya. Mereka beribadah sambil berdiri di bawah pohon rambutan, setelah awal Juli lalu, Pemerintah Kota Bekasi menyegel sebuah rumah yang biasa mereka gunakan kebaktian di jalan Puyuh Raya, Mustika Jaya, karena tidak mengantongi izin.”[ii]

“Akibat tak mengantongi IMB dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sebuah gereja di Dampit dirobohkan. Bangunan yang dirobohkan adalah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Eliezer di Dukuh Ubalan Desa Pamotan Kecamatan Dampit.
Gereja yang baru dalam tahap pembangunan tembok itu dirobohkan atas persetujuan panitia pembangunan mulai Kamis (14/4) malam sampai kemarin pagi.”[iii]

Ketiga kasus diatas paling tidak bisa menggambarkan bahwa persoalan kebebasan dalam mendirikan rumah ibadah telah dinodai dengan aksi intoleran berupa perusakan ataupun kendala administratif dari pemerintah. Berngakat dari persoalan diatas, maka dibutuhkan analisa dalam berbagai pesrpektif untuk menemukan solusi demi tegaknya Hak Asasi Manusia. Negara sebagai pemangku kewajiban dalam hal pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM, selayaknya dapat memfasilitasi persoalan diatas dengan membangun kerangka hukum yang legal dan adil dalam penerapannya.

Konsep Kebebasan Beragama-Berkeyakinan

Memperbincangkan kebebasan beragama berkeyakinan, tak bisa terlepas dari konsep Hak Asasi Manusia dalam perkembangan dunia internasional. Dalam Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia (DUHAM), jaminan kebebasan beragama diatur dalam pasal 18[iv]. Ketentuan serupa juga dapat ditemukan dalam ICCPR (International Covenant On Civil and Political Right) pasal 18 ayat 1 hingga ayat 4[v]. Dalam tataran Hukum nasional, Jaminan kebebasan beragama berkeyakinan sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 28E ayat 1[vi], Pasal 28I ayat 1[vii], Pasal 28J ayat 2[viii] dan Pasal 29 ayat 2. Dapat dikatakan bahwa untuk mempertahankan ide demokratisasi, Indonesia telah membangun kerangka hukum yang melindungi hak asasi warga negaranya.

Kebebasan beragama berkeyakinan merupakan non derogable right. Hak tersebut tidak dapat ditangguhkan pemenuhannya meski negara dalam keadaan bahaya atau perang. Manfred Nowak, Special Reppourter PBB memberikan penjelasan dalam bukunya ‘Pengantar Pada Rezim HAM Internasional’ sebagai berikut :

“Hak-hak khusus seperti larangan penyiksaan dan perbudakan atau larangan aturan-aturan pemberian hukum yang retroaktif, serta, sampai batas-batas tertentu, hak untuk hidup, kebebasan pribadi, kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan, dianggap sebagai hak-hak yang tidak terpengaruh keadaan darurat yang tidak dapat dibatasi bahkan pada masa perang.”[ix]

Secara konseptual, kebebasan beragama berkeyakinan dibagi dalam dua ranah, yaitu kebebasan forum internum dan kebebasan forum eksternum. Kebebasan dalam forum internum (freedom to be adalah kebebasan perorangan yang mutlak, asasi, di mana tak ada satu pihak pun yang diperbolehkan campur tangan (intervensi) terhadap perwujudan dan dinikmatinya hak-hak dan kebebasan ini. Adapun rumpun kebebasan internal adalah (1) hak untuk bebas menganut dan berpindah agama; dan (2) hak untuk tidak dipaksa menganut atau tidak menganut suatu agama.[x]

Sementara itu, kebebasan dalam forum eksternum eksternum atau kebebasan sosial dalam situasi khusus negara diperbolehkan membatasi atau mengekang hak-hak dan kebebasan ini, namun dengan margin of discretion atau prasyarat yang ketat dan legitimate. kebebasan eksternaltersebut antara lain (1) kebebasan untuk beribadah baik secara pribadi maupun bersama-sama, baik secara tertutup maupun terbuka; (2) kebebasan untuk mendirikan tempat ibadah; (3) kebebasan untuk menggunakan simbol-simbol agama; (4) kebebasan untuk merayakan hari besar agama; (5) kebebasan untuk menetapkan pemimpin agama; (6) hak untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama; (7) hak orang tua untuk mendidik agama kepada anaknya; (8) hak untuk mendirikan dan mengelola organisasi atau perkumpulan keagamaan; dan (9) hak untuk menyampaikan kepada pribadi atau kelompok materi-materi keagamaan. [xi]

Pembatasan terhadap kebebasan beragama berkeyakinan ditentukan dalam ICCPR pasal 18 ayat 3[xii] dimana pembatasan tersebut harus memenuhi kelima prasayarat, yaitu untuk melindungi keselamatan masyarakat (Public safety), Ketertiban Masyarakat (Public order), Kesehatan Masyarakat (Publik Health), Etika dan Moral Masyarakat (Morals public), dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (The fundamental rights and freedom of others).

Kelima pembatasan tersebut diperbolehkan jika diatur menurut hukum dan dibutuhkan dalam masyarakat yang demokratis. Dewan HAM Eropa menetapkan syarat-syarat pembatasan sebagai berikut :

a. Pembatasan dibuat untuk tujuan yang benar-benar legitimated

b. Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka dmokratis (jadi harus oleh parlemenatau lembaga yang diberi kekuasaan oleh parlemen untuk menyusun hukum yang memenuhi proses berkeadilan, baik secara prosedural maupun susbtansial.

c. Pembatasan teresbut harus benar-benar merupakan necesitas bagi masyarakat demokratis, tidak hanya sekedar berguna dan beralasan.

Mengenai pembatasan tersebut, Uli Parulian Sihombing memberikan penjelasan sebagai berikut :[xiii]

Pertama, Restrcition For The Protection Of Public Safety dibenarkan pembatasan dan pelarangan terhadp ajaran agama yang membahayakan pemeluknya. Contohnya, ajaran agama yang ekstrim, misalnya meenyuruh pemeluknya bunuh diri.

Kedua, Restriction For The Protection Of Public Order. Pembatasan dalam memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Diantaranya adalah aturan tentang kehasruan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum, mendirikan tempat ibadah di lokasi umum dsb.

Ketiga, Restriction For The Protection Of Public Health. Misalnya pelarangan terhadap agama yang mengharuskan pemeluknya berpuasa sepanjang tahun karena dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.

Keempat, Restriction of the Protection Of Morals. Misalnya melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.

Kelima, Restriction For The protection of The Fundamental Rights and Freedom Of Others. Misal adanya hukuman terhadap tindakan proselytism (Penyebaran agama), pemerintah dapat mencampuri kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris di dalam rangka melindungi kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan.

Sementara itu, dalam UUD 1945, dapat ditemukan ketentuan pembatasan terhadap pelaksanaan HAM termasuk Kebebasan beragama dalam pasal 28J ayat 2 yaitu :

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasanyang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

Klausula pembatasan dalam ketentuan tersebut masih banyak perdebatan dimana ‘nilai-nilai agama’ menjadi salah satu prasyarat dalam melakukan pembatasan. Persoalan yang patut dipertanyakan kemudian adalah ‘nilai-nilai’ agama apa yang dijadikan acuan dalam melakukan pembatasan?. Hal ini kemudian akan berujung pada interpretasi sepihak dari negara tentang ‘nilai-nilai agama’ tertentu, terlebih ketika menegasikan keberadaan agama minoritas. Dalam hal ini, negara berpotensi menjadi pihak yang ‘tidak netral’ dalam menjamin kebebasan beragama-berkeyakinan warga negara.

Dalam kasus pendirian tempat ibadah sebagai bagian dari kebebasan eksternal pada prinsipnya boleh dibatasi atau diatur oleh negara. Namun harus tetap memperhatikan persyaratan yang ketat dan legitimate sperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar, Hukum internasional dan prinsip siracrusa agar tidak melanggar kebebasan beragama-berkeyakinan itu sendiri.

PBM : Menyoal Legitimasinya dalam Pengaturan Rumah Ibadah

Pengaturan mengenai rumah ibadah oleh negara menurut ICCPR ataupun UUD 1945 memang diperbolehkan, karena pendirian rumah ibadah merupakan salah satu bagian dari kebebasan eksternum. Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah diwujudkan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 mengenai Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah (selanjutnya disebut PBM.red).

Mengingat ketentuan mengenai pembatasan terhadap kebebasan eksternal dimana ICCPR menetapkan bahwa pembatasan harus diwujudkan dalam ketentuan hukum, nampaknya keberadaan PBM yang mengatur mengenai pendirian rumah ibadah patut dipertanyakan legitimasinya. Dalam hirearki peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Bersama Menteri bukan merupakan sumber hukum yang legal. Terlebih jika peraturan bersama tersebut digunakan untuk membatasi hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan bahkan hukum internasional yang telah diratifikasi dan menjadi hukum positif.

PBM tersebut lebih jauh mengatur mengenai persyaratan adminsitratif dalam pembangunan rumah ibadah. Dalam beberapa kasus pedndirian gereja, seperti salah kasus yang disebutkan diatas, pembangunan tempat ibadah seringkali terkendala di wiayah pesryaratan administratif. Dalam PBM persyaratan tersebut diatur sebagai berikut :

Pasal 14

(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota

Persyaratan pendirian rumah ibadah yang seringkali menjadi kendala tersebut tidak berangkat dari pertimbangan rasional. misalnya saja pesryaratan mengenai pengguna rumah ibadah yang harus berjumlah 90 orang dan persetujuan warga sekitar yaitu 60 orang. Ketentuan tersebut tidak berangkat dari pertimbangan yang relevan sebagai salah satu persyaratan yang ditetapkan dalam pendirian rumah ibadah sebagai salah satu bentuk kebebasan beragama berkeyakinan. Sehingga legitimasi dari perber 2 hukum tersebut dalam mengatur mengenai pendirian tempat ibadah dapat diuji materilkan. Secara norma memilkii cacat dalam hal substansi pengaturan dan secara formal juga tidak memenuhi kriteria dari jenis produk hukum yang diakui alam UU No 10 tahun 2004.

Jelas bahwa pelarangan terhadap pendirian rumah ibadah dengan berbagai bentuk pembatasan seperti kendala administratif melanggar kebebasan beragama-berkeyakinan. Seperti diungkapkan diawal bahwa pembatasan terhadap kebebasan beragam haruslah dilaksanakan dalam kerangka hukum yang legal. Keberadaan PBM yang ‘cacat’ dari segi formal maupun kerangka substansi yang tidak relevan dengan perspektif rumah ibadah dari setiap agama, semakin melegitimasi pelanggaran HAM yang dilakukn oleh negara. Negara sebagai pemangku kewajiban (Duty Holder) dalam menjamin Hak warga negaranya tidak mampu menyediakan kerangka hukum yang legal demi menegakkan kebebasan beragam berkeyakinan warga negara.

Dalam prakteknya, PBM menimbulkan permasalahan berupa tindakan intoleransi masyarakat teradap pendirian rumah ibadah umat beragama yang lain. Contoh kasus terjadi di Bekasi terkait dengan protes umat islam dalam pendirian Gereja HKBP Pondok Timur Indah. Dalam kasus tersebut, penolakan warga terhadap pembangunan gereja berangkat dari tidak dipenuhinya persyaratan ‘persetujuan warga’ yang ditetapkan dalam PBM. Penolakan warga terhadap pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan Intoleransi yang justru mendapatkan legitimasi dalam PBM, sehingga pendirian rumah ibadah terkendala. Lebih jauh, tindakan intoleransi tersebut diwujudkan dengan aksi-aksi kekerasan berupa perusakan geraja Gereja Santo Albertus di Kompleks Harapan Indah, Kota Bekasi yang dilakukan oleh sekitar 1.000 orang yang terjadi pada tahun 2009 silam.

Menurut Data dari Paramadina[xiv], Pada tahun 2008 terjadi 15 insiden pelanggaran yang terkait dengan isu Pendirian Rumah Ibadah, enam di antaranya masuk ke dalam dimensi regulasi negara (14% dari totalnya) dan sembilan lainnya termasuk ke dalam dimensi regulasi sosial (juga 14% dari totalnya). Sudah lama masalah rumah ibadah, khususnya pembangunan gereja, menjadi sumber kesalahpahaman dan, akibatnya, ketegangan antarumat beragama. Peristiwa penutupan, pengrusakan, sampai pembakaran rumah ibadah berlangsung secara sporadis sejak masa Soekarno, mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, dan terus berlanjut sampai sekarang. Data FKKS (Forum Komunikasi Kristen Surabaya), misalnya, mencatat ada sekitar 358 gereja yang ditutup, dirusak dan bahkan dibakar antara tahun 1945 dan 1997, dengan jumlah tertinggi (132 kasus) terjadi pada periode 1985-1994 (Tahalele & Santoso 1997: 39).

Lebih jauh, Laporan Paramadina menyebutkan bahwa PBM ternyata tidak mampu menyelesaikan persoalan pendirian rumah ibadah. Akhir 2007, tim KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) dan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) melapor pada Komnas HAM perihal penutupan dan perusakan gereja yang masih terus terjadi pasca diterapkan PBM. Dalam laporan mereka, tercatat 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengrusakan gereja terjadi sejak 2004-2007. Dengan rinciannya, pada tahun 2004 terdapat 30 kasus, 2005 ada 39 kasus, 2006 ada 17 kasus dan 2007 ada 22 kasus. Dari pantauan, kasus-kasus tersebut paling banyak terjadi di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Poso dan Bengkulu (Suara Pembaruan, 15 Desember 2007). Malah, jika dilihat kasus-kasusnya, ada gejala di mana niat baik perumusan SKB sebagai gentlemen agreement yang paling mungkin dicapai, justru dibelokkan demi kepentingan sekelompok kalangan yang tidak bertanggung jawab.[xv]

Dari paparan dan analisa diatas, persoalan pendirian ibadah berawal dari ketentuan hukum yang tidak akomodatif dan berpotensi melanggar hak kebebasan beragam berkeyakinan warga negara. PBM sebagi intrumen hukum yang mengatur pendirian rumah ibadah harus di-uji materiil-kan untuk mempersoalkan legitimasi substansi dan formalnya.

Kesimpulan

Kebebasan beragama-berkeyakinan di Indonesia sudah dijaminkan dalam berbagi ketentuan hukum seperti Undang-Undang Dasar, Hukum Internasional yang telah diratifikasi hingga hukum nasional. Namun persoalan intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama berkeyakinan masih seringkali terjadi. Terkait dengan kebebasan mendirikan rumah ibadah sebagai bagian dari kebebasan eksternum, pengaturanya berupa PBM ‘cacat’ secara formal dan substansi. Dalam praktiknya, PBM tersebut melegitimasi aksi intoleransi yangd dilakukan oleh pemerintah untuk melarang pendirian tempat ibadah maupun aksi kekerasan dan sepihak dari masyarakat. Persoalan tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam mmeberikan jaminan hukum yang legal dan akomodatif bagi pelaksanaan kebebasan beragam-berkeyakinan warga negara.



[iv] Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktikkannya,melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri

[v] 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

4. Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

[vi] Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan menginggalkannya serta berhak kembali.

[vii] Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

[viii] Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetepkan dengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agam, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

[ix] Lihat halaman 62, Terjmhn. Nowak, Manfred, 2003, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute.

[x] Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB.

[xi] Lihat Pasal 18 DUHAM, Pasal 18 ICCPR, Deklarasi Universal 1981 tentang Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan, dan Komentar Umum No. 22 Komite HAM PBB

[xii] Komentar Umum Nomor 22 ayat 9 memberikan penjelasannya sebagai berikut : “Pasal 18.3 mengijinkan adanya pembatasan terhadap kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya jika pembatasan tersebut diatur oleh ketentuan hukum dan diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan mendasar orang lain...”. Pembatasan terhadap pelaksanaan Hak dalam konvensi Hak sipil ini berdasarkan Prinsip Siracrusa. Prinsip Siracusa adalah prinsip tentang ketentuan pembatasan dan derogasi hal dalam ICCPR. Lahir dalam pertemuan Panel 31 ahli hak asasi manusia dan hukum internasional dari berbagai negara di Sicilia Italia tahun 1984. Pertemuan ini menghasilkan seperangkat standar interpretasi atas klausul pembatasan hak dalam ICCPR

[xiii] Sihombing, Uli Parulian, Menggugat Bakor Pakem : Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di Indonesia, 2008, ILRC.

[xiv] Laporan Penelitian YAYASAN WAKAF PARAMADINA (YWF), MAGISTER PERDAMAIAN DAN RESOLUSI KONFLIK (MPRK) dan THE ASIA FOUNDATION, “MELAPORKAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA 2008: EVALUASI ATAS LAPORAN THE WAHID INSTITUTE, SETARA INSTITUTE, DAN CRCS-UGM”, Juli – 2009.

[xv] Ibid