About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Wednesday 7 September 2011

#Tribute To Munir, 7 September 2011 Catatan kecil dari Batu

Dari sini lah awalnya, pikirku. Ya dimulai dari Batu, Kota kecil yang bersahaja ini sosok itu tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sedemikian dikagumi banyak orang lantaran keberaniannya melawan ketidakadilan dengan lantang. Seperti apa yang ia selalu sampaikan bahwa ‘ketakutan akan mematikan kecerdasan dan akal sehat kita’, Munir menumbuhkan keberanian bagi semua orang untuk membuat negeri ini beradab.
Hari ini, tepat tujuh tahun kematiannya pada tanggal 7 september 2004 silam, segelintir mahasiswa dan beberapa sahabat terdekat serta keluarga memperingati ‘Hari Munir’ dengan cara tersendiri. Pagi tadi, tentulah semangat berkobar di depan istana. Orasi-orasi penuh semangat berkoar memenuhi langit Jakarta. Namun tidak di sini, di Kota batu, kami memperingati nya dengan sederhana.

Dimulai dengan orasi di depan alun-alun kota Batu, para massa aksi berbicara dengan lantang mengajak masyarakat tidak melupakan ‘anak daerah’ yang bernama Munir ini. Sungguh sangat miris ketika di kancah nasional hingga internasional namanya dijadikan parameter ketika berbicara tentang Hak Asasi Manusia yang selalu ia perjuangkan, namun di kampungnya sendiri dia mulai terlupakan. Tidak!, tentu saja kami tidak mau dia dilupakan begitu saja!. Maka mulailah kami melakukan longmarch dari alun-alun kota menuju makam Alm.Munir yang terletak di desa Sisir, sekitar 1 Kilometer dari arah alun-alun. Jumlah kami memang tidak banyak, hanya beberapa puluh orang mahasiswa, Suciwati sang istri dan Alif (anak pertama cak Munir), sahabat dekatnya Mbak Asfinawati, Mbak Yely, Pak Ali syafa’at dan beberapa orang wartawan yang meliput. Namun suara kami dapat menjadi penanda bahwa Kota Batu masih mengingat Munir. Ya, kami masih mengingatmu, Cak.
Sesampai di pemakaman Munir, kami melakukan doa bersama ala islam yang dipimpin oleh salah satu perwakilan mahasiswa (Angga). Lalu doa selanjutnya secara Kristen dipimpin oleh Mbak Yeli selaku perwakilan gereja. Keharuan menusuk hati kami saat doa dipanjatkan, entah kenapa rasa haru kami menyatu dengan sangat harmonis dalam perbedaan agama. Sekali lagi, bahkan saat dia sudah meninggal pun, semangat ‘toleransi’ nya bisa kami rasakan dengan khidmat. Hingga beberapa tetes airmata pun jatuh di pipi kami, mengenang sosok yang sedemikian kami cintai. Sakit betul hati kami mengingat keadilan untuknya belum tercapai dalam kurun waktu 7 tahun ini, waktu yang panjang bagi kami untuk menanti. Karena makna keadilan untuknya, juga keadilan bagi kami, bagi buruh, bagi petani, bagi rakyat miskin, bagi korban pelanggaran HAM, bagi semua manusia yang ia bela. Kami sangat malu, selama 7 tahun pula kami belum berhasil membela-nya. Kami belum mampu meruntuhkan sistem yang sedemikan bobroknya hingga sosok pembela sepertinya harus mengorbankan diri nya bagi kemajuan peradaban bangsa ini.
“Tenang saja Cak, Kami tidak akan lelah membelamu”
Seusai berdoa di makam alm.Munir, massa aksi menuju rumah keluarga Alm.Munir dan mbak suci di Desa sidomulyo. Udara kota batu yang sejuk mengiringi perjalanan, sembari dalam hati aku mengutuk oang-orang yang ‘duduk’ di istana pemerintahan tanpa berani melakukan sesuatu untuk menuntaskan kasus ini. Sesampainya di rumah almarhum, aku sempat terkagum-kagum dengan koleksi buku yang terpampang di 3 buah rak buku yang besar. Koleksi bukunya membuatku mupeng. Sembari menunggu maghrib, kusempatkan berbincang-bincang dengan anak bungsu Cak Munir, Dyfa yang kini duduk dikelas empat SD. Setelah kuperhatikan, ternyata wajahnya sangat mirip dengan Mbak Asfin. Kata Mbak suci mereka itu kakak adik. Haha. Tawa renyah memenuhi ruangan.

Menjelang maghrib, rumah almarhum Nampak ramai dipenuhi para mahasiswa dan beberapa tamu. Kami melakukan sholat berjamaah kemudian tahlil yang dipersembahkan untuk Munir, berharap Tuhan selalu memberikan tempat yang terbaik bagi manusia baik seperti dia. Seusai tahlil, tamu kembali berdatangan dan agenda yang semula direncanakan nonton film ‘kiri hijau kanan merah’, dibatalkan lantaran peralatan sound system dan LCD tidak tersedia. Akhirnya kami berkumpul di ruang depan dan memperbincangkan apa yang bisa kita lakukan bagi kasus Munir. Masing-masing dari kami memiliki semangat untuk melakukan sesuatu, ditambah pula beberapa komitemen dari tokoh-tokoh aktivis senior di Malang, lantas kami bersepakat menghidupkan komunitas ‘Sahabat Munir’ di Malang. Kami mau mebelanya, kami mau memperjuangkan apa yang ia cita-citakan. Tentang keadilan, tentang keberpihakan pada yang tertindas, tentang keberanian melawan kekuatan apapun. Itulah inspirasi bagi kami.