About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Thursday 12 August 2010

Narasi Virginitas

Apa aku pernah bercerita padamu tentang gadis ini, kawanku?. Seorang gadis berparas manis, senang rupanya ia menertawakan dunia pada setiap kisah yang dituturkannya padaku. Aku mengaguminya bukan hanya sekedar dia pernah menertawakan dunia, bahkan berani mengejekku. Menghujamku tepat pada titian hidupku, Lalu aku merasa malu. Ah.. gadis, bukankah aku sudah memberimu kasih sayang seperti yang kau inginkan? Masihkah tawa sinis itu menggelayut di ujung bibir yang sempat ku kecup dengan hangat?. Aku telah mengurai pesonamu dalam benakku. Menghujatmu pula dengan cumbuan mesra itu, aku mendapatkanmu gadis. Suatu waktu, aku sempat memintamu untuk mengukir senyum manis untukku. Biar hati yang sempat kau hangatkan ini meleleh dan terburai segenap rasa dalam dada. Tapi kau tak bergeming gadis. Aku bak pecundang yang takluk pada sosok angkuhmu. Ragamu tlah aku jamah, tapi hatimu telah terasah menerima segumpal cinta dan nafsuku untuk memilikimu. Jadi kau sudah jengah rupanya? Ahhh… jangan naïf gadisku. Kau tetap milikku.. Aku pengalaman pertamamu.. dan aku merebut mahkotamu! hahaha .

Lelaki tertawa bangga, puas rasa hatinya telah berhasil menaklukkan sang gadis. Membawa sejumput keperwanan yang melekat. Terbahak dalam setiap isak yang keluar dari jiwa yang terkoyak. Sementara itu, sang gadis tak melulu terpekur dan menangis. Senang rupanya ia menaklukkan Lelaki dengan seksualitas tubuhnya. Tak peduli pengkultusan virtginitas kan membuatnya ternistakan di mata masyaratakat, hanya saja, ia bisa terlepas dari belenggu kepasrahan ketika lelaki menggerogoti harga dirinya sebagai seorang perempuan. Nyatanya, hati dan perasaannya tak lemah, keperawanan hati masih tetap miliknya.

Begitulah, perempuan seringkali menikmati konsekuensi pengkultusan budaya terhadapn suatu hal, termasuk ‘keperwanan’ dirinya. Bagaimana kemudian stigma berkembang bahwa ‘virginitas’ itu keharusan, sementara bagi lelaki sah-sah saja melepas nya dalam ‘pesta lajang’. Bukan bermaksud untuk mengaimini ‘degradasi moral’ yang terjadi di masyarakat post modern terkait dengan maraknya eksploitasi terhadap seksualitas, hanya saja mempertanyakan konsepsi budaya yang seringkali dijadikan legitimasi untuk menistakan kedudukan perempuan. Fakta bahwa tubuh perempuan dijadikan objek seskuslitas semata. Parameter apapun yang dipergunakan unutk menilai seorang perempuan dipatok pada ‘bagaiamana tubuh perempuan itu’ dan ‘harus seperti apa tubuh perempuan itu’. Tak aneh ketika para perempuan berlomba untuk menuruti konstruksi kecantikan yang dibangun, semata hanya untuk memuaskan hasrat terhadap seksualitas itu sendiri.

Namun, aku pernah membaca sebuah novel yang sangat menggugah rasa batinku sebagai seorang perempuan. Perempuan di titik Nol karya Nawaal El Sadawi, kisah yang dituturkan tentang pelacur yang punya determinasi kuat atas konstruk masyarakat mengenai perempuan sebagai objek sekualitas. Ah.. bagaimana kemudian sang pelacur merasa agung telah menaklukkan lelaki dengan tubuh yang dimilikinya. Bagaimana kemudian sang pelacur berhasil menundukkan lelaki, membuat bertekuk lutut dengan tubuhnya. Melepas semua atribut yang didasarkan pada tendensi perasaan, ya.. Hatinya telah mati rasa. Dan tak terjamah oleh lelaki manapun yang mencumbunya.
Malang, 16 Januari 2010
(Hanya sekelumit tulisan hasil refleksi pikiran)--- iLur

Aku Menghamba Pada Perempuan

Ku ceritakan kisahku, bukan berarti aku tak mampu memendamnya, atau pamer pada kalian tentang yang kurasa. Hanya saja, kisah ini layak aku tuturkan sebagai pengantar tidur kalian atau bahan guyonan belaka. Aku memulainya..
Dia hadir dimataku, menjelma bagai bidadari kecil yang manis. Keluguan yang terpancar dari wajah kanak-kanaknya, tak serta merta menenggelamkan usia yang ada padanya, seorang gadis yang beranjak dewasa. Ah.. betapa dia begitu polos menyikapi kefanaan dunia. Penuturannya membuatku tersadar bahwa hidup tak melulu menghamba pada konsepsi yang selama ini aku agungkan. Keduniaan membuatku terlena dan melupakan kefanaan itu sendiri.
Ah yha.. akhirnya aku terlena pada sosokmu. Menghamba dengan sepenuh cinta pada ketenangan yang terpancar saat aku bersamamu. Gadisku, betapa aku merasakan aura surgawi bersamamu, betapa aku menginginkan usapan lembut tangan mungilmu. Semuanya aku lupakan, semuanya aku relakan untuk tak menjamah dan merebut rasa hatiku padamu. Termasuk pengingkaran terhadap diriku seutuhnya, dan menjadi apa yang kau inginkan.
Aku telah sepenuhnya menghamba pada cinta ini, aku telah sepenuhnya berharap pada rasa ini. Lelaki yang takluk pada sosok agungmu ini bak kurcaci yang kerdil di mata putri salju. Menghamba...mengamba..menghamba.. benarkah ini konsepsi cinta sesungguhnya?
Lalu kau pergi, berlari mengejar mimpimu sendiri tanpa membawaku turut serta. Aku tak paham dan hanya bisa diam. Gadisku, kau telah memporakporandakan mimpiku untuk bersamamu. Mati rasa hatiku untuk menghamba pada sejumput rasa itu lagi. Nista nian dirku dihadapmu gadisku, hingga kau buat aku terjatuh pada lubang terdalam ini. Ahhhh... aku mengagumimu bukan hanya karena aku telah menghamba pada cinta, tapi kamu telah berani mengusik pertahanan jiwa dan prinsip hidupku.
(Dikutip dari cerita seorang kawan, bagaimana kemudian lelaki bisa selemah ini karena perempuan. Betul apa kata pepatah, bahwa kelemahan lelaki adalah “harta, tahta dan wanita”)
Jika perempuan telah megalami ketertindasan sosial, maka lelaki mengalami ketertindasan perasaan karena perempuan.
Malang, 18 Januari 2010