About me

My photo
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Proud to be a Woman

Saturday 3 September 2011

Artikel Kritik


Hilangnya Kemanusiaan dalam Transisi Rezim Orde Lama - Orde Baru dan Upaya Rekonsiliasinya (Persepektif Seorang Perempuan)

Jalan sejarah kita dibangun oleh para 'sejarawan' yang mengabdi kekuasaan militer ... Kita yang sudah disiksa dan kalah jangan sekali-kali menjadi putus asa. Kita harus berjuang untuk hidup. Generasi muda harus belajar dan tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa lalu. Sejarah harus ditulis di atas kejujuran, sehingga generasi-generasi mendatang tidak akan salah mengerti. (Saskia E Wieringa, Politisasi Hubungan Gender di Indonesia, Dok IX 1992:22)

Pengantar

Sejarah selalu dibuat dengan perspektif para pemenang. Sejarah tidaklah objektif seperti halnya fakta itu sendiri. Sejarah selalu berpihak pada pemenang yang memegang hegemoni[1]. Sehingga tak bisa dipungkiri dalam perjalanan menguak kembali fakta sejarah yang 'dimanipulasi' oleh pemenang, rasanya seperti menguak kembali luka lama para pelaku sejarah maupun para korban yang berpijak diatas kaki keadilan dalam menuturkan fakta yang mereka alami.

Demikian halnya yang terjadi di Indonesia. Sejarah bangsa ini berdiri diatas tetesan airmata para saksi dan pelaku sejarah, bahkan kucuran darah dari para korban yang terkalahkan. Jelas bagi kita semua bahwa peristiwa yang terjadi pada tahun 1965, era dimana terjadi transisi rezim orde lama ke orde baru yang kemudian dikenal pula dengan peristiwa G30S PKI, telah mengakar dalam ingatan anak bangsa sebagai tragedi kemanusiaan yang sedemikian hebatnya hingga menewaskan hampir 1 juta jiwa. Bahkan menurut Bertrand Russel, dalam kurun waktu empat bulan saja, lima kali lebih banyak orang telah mati di Indonesia daripada di Vietnam selama 12 tahun.[2]

Carmel Budiharjo, Direktur Tapol, sebuah organisasi HAM yang berbasis di London mengungkapkan :

'Kejahatan Suharto yang terbesar bukanlah begitu banyak orang yang telah terbunuh atas perintahnya dalam waktu enam bulan setelah aia merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno, bukankarena begitu banyak organisasi dinyatakan ilegal dan berjuta-juta orang telah dianiaya, melainkan bahwa ia telah menggunakan kebohongan keboongan unutk menciptakan kkuasaan teror dan mendirikan sistem represif yang mencengkeram Indonesia'.[3]

Dehumanisasi Citra Perempuan dan Mati suri-nya gerakan perempuan

Bukan hanya penghancuran secara besar-besaran segala hal yang berbau dengan Komunis, terlebih dari itu, rezim orde baru dibangun diatas teror terutama bagi kaum perempuan. Orde Baru 'menuduh' para aktivis gerwani melakukan tarian 'harum bunga' dan menyayat tubuh para jendral yang sedang sekarat. Teror itupun secara simbolis diabadikan dalam monumen pancasila dengan menggambar relief peristiwa tarian 'harum bunga' tersebut sebagai simbol amoralitas kaum permpuan. Apalagi perempuan yang bergerak di organisasi akar rumput macam Gerwani yang menyuarakan hak kaum marginal. [4]

Penghancuran citra Gerwani sebagai organisasi perempuan terbesar saat itu dengan keanggotaan mencapai 1,5 juta di seluruh indonesia, berimpilkasi pada 'mati suri'-nya gerakan perempuan dalam periode selanjutnya. Apalagi di rezim orde baru, pemerintah men'domestifikasi' eksistensi perempuan dengan mendirikan organisasi perempuan macam Bhayangkari (Organisasi Persatuan Istri Polisi), Dharma Wanita (Organisasi Persatuan Istri Pegawai negeri Sipil) dan PKK (Pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga) yang notabene menjadi organisasi 'konco wingking' bagi organisasi 'laki-laki'. Citra tentang perempuan yang bergerak dan ikut berpolitik[5] seperti yang dilakukan oleh Gerwani pada eranya, secara simultan digantikan dengan citra kaum perempuan 'baik-baik' dengan wadah baru melalui organisasi-organisasi tersebut. Di era Soeharto pun tak dapat ditemui adanya organisasi perempuan yang cukup revolusioner dan berani menyuarakan hak kaum perempuan seperti yang dilakukan Gerwani pada waktu itu.

Terlebih dari itu, perlakuan rezim Soeharto terhadap para tahanan politik perempuan yang dianggap terlibat dengan Gerwani ataupun siapapun yang secara ideologis punya keterkaitan dengan PKI, sungguh tidak manusiawi. Cerita mengenaskan seperti yang dialami oleh salah seorang tahanan politik perempuan yang berhasil diwawancarai oleh Fransisca Ria Susanti dalam bukunya Kembang-Kembang Genjer bernama Mukinem, seorang Guru TK di Dusun Manisrenggo Prambanan. Kisah pedihnya diawali dengan penangkapkannya pada tahun 1966 oleh para tentara pada saat ia mengajar. Ia dianggap simpatisan Gerwani yang kemudian dipenjara di Gondang Baru dipindah ke Solo, Bulu (Semarang) dan Terakhir di Plantungan (Jogjakarta), baru dibebaskan pada tahun 1979. Perlakuan kejam yang diterima saat menjadi tahanan politik telah merenggut harga dirinya sebagai perempuan, menempatkan statusnya tak lebih hanya sekedar hewan. Pemukulan, pemerkosaan, pemaksaan bertindak asusila dialaminya sebagai tahanan politik yang tak pernah diadili. Jelas secara fisik, psikis dan psikologis ia mengalami penderitaan yang teramat berat. Namun sekali lagi, fakta kecil yang dialami salah seorang tahanan politik perempuan tersebut tak dianggap sebagai cerminan dari penghancuran kemanusiaan anak bangsa.

Membangun kembali Citra Perempuan, sebuah Upaya Rekonsiliasi

Berawal dari dua hal diatas, yaitu mandeg-nya gerakan perempuan dan dehumanisasi citra perempuan, saya mencoba mengajukan konsep rekonsiliasi yang berpotensi besar dalam merubah paradigma masyarakat terhadap peritiwa 1965. Terlebih melihat kondisi kekinian perempuan Indonesia yang masih butuh wadah bagi perkembangan partisipasi perempuan di semua lini seperti ekonomi, politik dan pendidikan, maka rekonsiliasi ini harus bisa menjawab kebutuhan perempuan saat ini. Melihat peluang yang ada, maka rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mengakomodasi dan mendorong korban dan pelaku sejarah 1965 terutama korban perempuan yeng mengalami represi fisik, psikis dan psikologis (walaupun jumlah yang masih hidup sangat minim) untuk menuturkan pengalaman mereka. Sehingga objektifitas sejarah tidak hanya dari persepektif 'pemenang' yaitu rezim orde baru, tapi juga dari persepektif korban perempuan yang selama ini terkalahkan.

2. Menuliskan kembali sejarah 1965 secara jujur dan objektif terutama menyangkut perbaikan citra gerakan perempuan yang terlanjur ternoda dengan fitnah keji rezim orde baru. Penulisan kembali sejarah tersebut diarahkan unutk konsumsi di lingkup pendidikan formal yang menjadi tombak dalam mengubah pandangan masyarakat. Terlebih pendidikan formal 9 tahun yang wajib dijalani oleh setiap warga negara, berpotensi menanamkan pemahaman baru terkait dengan periwtiwa 1965 yang selama ini ditulis oleh para 'pemenang'.

3. Menyuarakan kembali gerakan perempuan di tingkatan akar rumput untuk mendorong gerakan perempuan lebih progresif dalam menyikapi isu yang terkait dengan permasalahan perempuan. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Gerwani yang selama ini menjadi momok sejarah, gerakan perempuan era kekinian dapat mengambil semangat para aktivis Gerwani. Hal ini kemudian berimplikasi pada pengakuan dan penghormatan terhadap Gerwani sebagai organisasi perempuan 'korban' dalam peristiwa 1965. Bagaimanapun, kooptasi 1965 terhadap Gerwani harus dihapuskan dengan membangun kembali gerakan serupa demi mengulang kebangkitan kaum perempuan

4. Mendorong pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc kasus 1965 sebagai bentuk pertanggungjawaban negara terhadap hilangnya kemanusiaan perempuan korban Atau menuntut negara untuk menetapkan peritiwa 1965 sebagai tragedi kemanusiaan yang perlu disikapi kemudian melakukan rekonsiliasi bagi para perempuan korban.

Sumber Bacaan

Annonymous. 2002. The Long Road to Democrazy. Jakrta : YAPPIKA

Fic, Victor M. 2008. Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi tentang Konspirasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Komnas Perempuan. 2009. Kita Bersikap : Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalnaan Berbangsa, Jakarta : Komnas Perempuan

Jurnal Perempuan edisi 63 2010, Catatan Perjuangan Politik Perempuan, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan

Susanti, Fransisca Ria. 2002. Kembang-Kembang Genjer. Yogyakarta : Jejak

Wieringa, Saskia. 1998. Kuntilanak Wangi : Organisasi-Organisasi Perempuan sesudah 1950, Jakarta : Kalyanamitra



[1] Secara konseptual, Antonio Gramsci mengelaborasikan Hegemoni sebagai berikut : supremasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua hal cara, sebagai “dominasi” dan sebagai “kepemimpinan intelektual dan moral”, dan di satu pihak, sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk menghancurkan atau menundukan mereka, bahkan mungkin menggunakan kekuatan bersanjata; di lain pihak, kelompok-kelompok memimpin kelompok kerabat atau sekutu mereka. Sebuah kelompok sosial dapat dan bahkan harus sudah menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan kepemerintahan (kepemimpinan tersebut merupakan syarat-syarat utama untuk mendapatkan kekuasaan semacam itu). Kelompok sosial tersebut kemudian menjadi dominan ketika dia mempraktekan kekuasaan, tapi bahkan bila ia sudah memegang kekuasaan penuh di tangannya, dia masih harus “memimpin” juga. (Gramsci, 1976;57-58). Dalam kasus tragedi 65 jelas bahwa rezim Soeharto pada saat masa transisi telah men-design pola penggiringan alam bawah sadar masyarakat Indonesia sebagai bentuk awal dari proses hegemoni untuk membenci segala yang berbau dengan Komunis dan PKI. Hal tersebut berefek pada hancurnya PKI dan organisasi-oranisasi yang menjadi basis gerakan di tingkatan akar rumput macam BTI, SOBSI dan Gerwani yang dianggap secara ideologis dekat dengan PKI (Walaupun secara organisatoris bukan underbouw partai).

[2] Lihat Annonymous, The Long Road to Democrazy, 2002, Jakarta : YAPPIKA

[3] ibid

[4] Program-program kerja Gerwani pada saat itu seperti mendirikan TK Melati sebagai unit pendidikan rakyat miskin, mendirikan tempat penitipan anak agar perempuan Petani dan buruh leluasa menjalankan peran publik mereka tanpa terbebani peran domestik perempuan, mengkampanyekan anti poligami sekaligus gerakan penyadarannya, sekaligus melakukan pemberdayaan perempuan di tingkatan desa hingga daerah terpensil dengan mngirimkan kader-kader ke seluruh pelosok daerah.

[5] Pada saat itu, Gerwani memiliki perwakilan di DPR yang terlingkup dalam Golongan Karya. Salah satunya adalah Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani. Selain itu, gerakan Gerwani juga memberikan wacana politik bagi para kadernya dengan menerbitkan buletin Api Kartini sekaligus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi para kader.